Laman

3/04/2009

Tips Mengenal 7 Dosa Besar Menjadi Ayah

Menurut sebuah cerita turun temurun dari masa berabad-abad yang lampau, manusia memilki 7 dosa besar yang selalu ‘menemani’-nya dalam menjalani hidupnya yaitu: gairah (nafsu), sombong, tamak, rakus, cemburu, malas dan amarah. Analog dengan cerita tersebut, Figur Ayah, dalam mengelola rumah tangga dan mengarahkan anak-anaknya, selalu ‘ditemani’ kesalahan-kesalahan kecil (kekhilafan) nya sebagai orang tua (walaupun memang sebenarnya bukan dosa apalagi dosa besar, namun setidaknya Anda dapat mengenalinya). Menghindari ke-7 kekhilafan tersebut akan lebih memudahkan Anda menjadi aset bagi anak-anak Anda dan akan lebih menikmati peran sebagai ayah yang baik. Berikut ini ke-7 ‘dosa besar’ tersebut:
1. Perhatian Yang Berlebih. Memang, anak merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sebuah keluarga. Jika salah satu diantara mereka membutuhkan pertolongan pertama, segala macam hal urgen di kantor pasti akan Anda abaikan untuk sementara waktu. Namun, meski anak adalah hal yang sangat penting dalam hidup Anda, mereka seharusnya bukanlah satu-satunya hal yang penting dalam hidup Anda. Di era sekarang, di mana banyak orang menganggap anak adalah segalanya, sangat memungkinkan bagi seorang pria untuk memberikan perhatian yang berlebihan kepada anaknya sendiri. Misalnya ketika Anda harus menyaksikan anak Anda setiap kali ia bertanding bola. Yang semula bermaksud memberikan dukungan, justru malah memberikan beban. Ada 2 pesan buruk yang sampai ke anak, 1) bahwa sosok laki-laki dewasa yang dikenal sebagai ayah tidak memiliki kehidupan lain. 2) Bahwa anak-anak tidak bisa berhasil tanpa kehadiran ayah. Manfaat yang dapat dipetik anak dari model peran pria dewasa, terlihat dari peran ayah secara lengkap dalam kesehariannya. Perhatian yang berlebih bisa saja memebentuk sifat harga diri tinggi, yang mungkin tidak selalu berguna, dibanding dengan sifat percaya diri.
2. Terlalu Banyak Bicara. Terlalu banyak bicara, akan mengesakan bahwa Anda adalah seorang ayah yang cerewet, pengatur, tidak percaya pada kemampuan orang lain yang akan mengakibatkan Anda terliwat tidak berwibawa di mata anak Anda. Cobalah untuk memilah permasalahan rumah tangga, mana yang perlu Anda ambil alih dan mana yang hanya perlu Anda amati proses penyelesaiannya.
3. Penengah Yang Tidak Netral. Sang ayah biasanya selalu menggebu memberikan dukungan, sambil berteriak, “Ayo dung pak wasit, seperti itu saja Anda anggap pelanggaran!”. Perlu Anda sadari bahwa ini bukan pertandingan hidup-mati antara Manchester United vs Liverpool. Ini hanya sebuah pertandingan kecil, dan anak Anda mungkin baru 25 kg beratnya. Intinya adalah Anda tidak perlu menganggap anak Anda berbeda dengan anak-anak lain sehingga Anda harus selalu melicinkan jalan hidupnya terus menerus. Anak anda tidak perlu kehadiran Anda sebagai wasitnya wasit. Biarkan dia berproses dalam memulai meniti jalan hidupnya.
4. Subyektif. Sebagi ayah Anda harus dapat mulai bersikap obyektif dalam memandang persoalan. Cabalah untuk selalu melihat permasalahan anak Anda lebih dari 1 sudut pandang semata (subyektif). Ketika anak Anda dihukum guru karena telah melakukan pelanggaran/kesalahan di sekolah, maka Anda harus bisa menerima hal tersebut sebagai bagian dari pembelajaran rasa tanggung jawab terhadap dirinya.
5. Tumpuan Harapan. Walaupun Anda sebagai tumpuan serta tulang punggung keluarga, yang bekerja membanting tulang dengan berangkat pagi pulang malam, ada baiknya Anda tetap pula dekat dengan anak dan keluarga Anda. Janganlah menjadikan peran utama Anda tersebut sebagai pembenaran, ketidakeratan hubungan Anda dengan keluarga. . Lakukan beberapa pendekatan-pendekatan sikap, misalnya ketika sedang berada di luar kota atau luar negeri, teleponlah si kecil untuk sekedar menanyakan kepadanya jalan cerita film favoritnya sore itu atau kirimkan MMS (multimedia message service) foto Anda dengan artis idola si kecil ketika Anda bertemu dengannya di bandara. Hal ini akan menghindarkan Anda dari julukan ‘Patung Yang Dikagumi Keluarga Anda’.
6. Pilih ‘Ini’ Atau ‘Itu’. Jika si kecil melanggar disiplin, jangan berikan pilihan. Misalnya saat Anda berteriak, “Lepaskan ikatan adikmu sekarang juga, atau tidak ada Play Station (PS) selama seminggu!”. Kalimat pilihan ‘ini’ dan ‘itu’ yang menawarkan kepatuhan, semata-mata adalah pelajaran analisa untung rugi, di mana anak usia 6 th menimbang kesenangannya untuk menyakiti adiknya atau melawan kesedihannya seminggu karena tak diijinkan bermain PS. Dia tahu bahwa Anda tidak sungguh-sungguh menawarkan pilihan seperti itu, tetapi pilihan tersebut membentuk makna tersirat bahwa Anda lebih berwenang mengatur seluruh alat rumah tangga daripada seharusnya. Jika seorang ayah berharap akan menikmati perannya sebagai ayah pada 8 sampai 10 tahun pertama, maka Anda harus memerlukan suara singa, untuk siap berteriak mengehantikan kekacauan secara instant. Memberikan pilihan ‘ini’ dan ‘itu’ justru akan membuyarkan otoritas ’singa’ itu
7. Ayah Yang Keibuan. Dewasa ini, Pola pengasuhan anak tidak lagi terpaku pada gender. Sering didapati, seorang ibu bekerja mencari nafkah , sementara sang ayah mengurus rumah tangga dan melakukan tugas memasak. Tetapi membersarkan anak tidak bisa seluruhnya hanya dengan netralitas kelamin. Posisi ayah dan ibu tidak bisa tergantikan. Untuk itu, Anda tidak perlu menjadi: lebih peka, lebih berempati, lincah jungkir balik mengatur rumah tangga dan anak-anaknya, layaknya seorang ibu. Yang perlu Anda lakukan adalah just be your self , Anda akan lebih dan lebih cocok dengan hal-hal yang bersemangat tinggi, dengan gelak tawa yang nyaring serta bercerita tentang singa-singa reksasa. Biarkanlah kromosom Y anda mengarahkan Anda menjadi pemandu yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar