Laman

12/29/2009

HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU ISLAM DAN FATWA-FATWA SEPUTAR BULAN MUHARRAM DAN PUASA ‘ASYURA

بسم الله الرحمن الرحيم



الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.

Memasuki bulan Muharram tahun 1431 Hijriyyah ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, sebagian kaum muslimin menyambut kedatangannya dengan berbagai acara dan ritual tertentu. Mereka memperingati tahun baru Islam ini dengan keyakinan bahwa hal ini termasuk amalan yang disyari’atkan dalam agama ini.

Benarkah anggapan dan keyakinan yang demikian? Saudara-saudara kami kaum muslimin rahimakumullah, pada sajian kali ini, kami akan menampilkan fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah terkait permasalahan tersebut. Dengan keluasan ilmunya, beliau akan menjawab bagaimana sebenarnya hukum memperingati tahun baru Hijriyah, apakah hal itu disyari’atkan dalam agama ini, ataukah sebaliknya, justru bertentangan dengan tuntunan Islam. Dan tidak ketinggalan pula kami juga menampilkan fatwa-fatwa penting yang lainnya seputar bulan Muharram dan puasa ‘Asyura.

Sebenarnya fatwa-fatwa tersebut pernah kami tampilkan setahun yang lalu dalam situs yang sama, namun mengingat betapa pentingnya masalah ini untuk diketahui dan dipahami dengan benar oleh kaum muslimin, maka kami akan menampilkan ulang, mudah-mudahan bermanfaat.

Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :

تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.

ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر.

كتبه محمد بن صالح العثيمين

24/1/1418 هـ

Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Ditulis oleh :

Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn

24 - 1 - 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

Para pembaca sekalian,

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :

- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.

- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.

Wallâhu a’lam bish shawâb

http://www.assalafy.org/mahad/?p=408

9/07/2009

HUKUM MEMAKAI CADAR ATAU HIJAB

Fitnah syahwat yang paling berat di alam ini adalah fitnah wanita, karena itu fitnah
ini disebutkan pertama kali mengawali fitnah-fitnah syahwat lainnya sebagaimana firman Allah swt ;
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al imron : 14)
Untuk itu Allah swt memerintahkan para wanita menutupi seluruh tubuhnya yang merupakan perhiasannya kecuali yang biasa ditampakkan dengan mengenakan jilbab dan kerudung hingga ke dada, sebagaimana firman-Nya :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Artinya : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya.’ (QS. An Nuur : 31)
Dengan ditutupinya seluruh perhiasan seorang wanita maka akan mempersempit ruang bagi lawan jenisnya untuk mengarahkan pandangannya kepada perhiasannya atau bahkan menikmatinya dengan pandangan yang tidak wajar dan pandangan seperti ini adalah jalan menuju perzinahan bahkan ia sendiri sudah disebut dengan zina mata, sebagaimana hadits dari Abu Hurairoh ra dari Nabi saw bersabda,”Telah dituliskan terhadap anak Adam bagiannya dari zina dan bukan mustahil ia akan tertimpa olehnya. Zina mata adalah pandangan, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah berbicara, zina tangan adalah memegang, zina kaki adalah melangkah dan hati memiliki kecenderungan serta harapan yang kemudian dituruti atau diingkari oleh kemaluan.” (HR. Muslim)
Hikmah lain dari perintah menutup aurat ini adalah sebagai ciri khas dan identitas seorang wanita muslimah dibandingkan dengan wanita-wanita non muslim, sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya : “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 59)
Batasa Aurat Wanita
Tentang batasan aurat bagi seorang wanita ini, Sayyid Sabiq mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat yang wajib ditutup kecuali muka dan kedua telapak tangan, sebagaimana firman Allah swt :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Artinya : “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur : 31) maksudnya janganlah mereka memperlihatkan tempat-tempat perhiasan, melainkan kedua telapak tangan, sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadits dari ibnu Abbas, Ibnu umar dan Aisyah.
Dari Aisyah ra bahwasanya Nabi saw bersabda,”Allah tidak menerima sholat perempuan yang telah mencapai usia baligh, kecuali dengan memakai telekung.” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah kecuali Nasai. Sementara Ibnu Khuzaimah dan Hakim menyatakan sebagai hadits shahih, sedangkan Tirmidzi menyatakannya sebagai hadits hasan)
Dari Ummu Salamah bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi saw,”Bolehkan wanita mengerjakan shalat dengan memakai baju kurung dan telekung, tanpa kain atau sarung? ‘ Beliau saw menjawab,’(Boleh), apabila baju kurungnya lebar dan panjang menutup kedua tumitnya.” (HR. Abu Daud dan para imam menshahihkannya sebagai hadits mauquf)
Dari Aisyah ra bahwa ia pernah ditanya,”Berapa macamkah pakaian yang harus dipakai wanita yang hendak shalat?’ jawabnya,’Tanyakanlah kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian datanglah kepadaku dan beritahukan jawabannya kepadaku!’ Orang itu pun mendatangi Ali dan menanyakan hal itu kepadanya. Ali berkata,’Memakai telekung dan baju dalam,’ kemudian orang itu kembali menjumpai Aisyah dan menceritakan jawaban Ali kepadanya. Lantas Aisyah berkata,’Itulah jawaban yang benar.” (Fiqhus Sunnah edisi terjemah juz I hal 179 – 180)
Hukum Cadar (Niqab)
Al Qurthubi dalam menafsirkan ayat diatas mengatakan bahwa “yang biasa nampak dari padanya” adalah wajah dan kedua telapak tangan sebagaimana didalam kebiasaan maupun ibadah seperti shalat dan haji. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah bahwasanya Asma binti Abu bakar menemui Rasulullah saw dengan mengenakan pakaian yang tipis, kemudian Rasulullah saw berpaling darinya dan mengatakan kepadanya,”Wahai Asma sesungguhnya apabila seorang wanita telah mendapatkan haidh maka tidak sepantasnya ia memperlihatkannya kecuali ini.” beliau mengisyaratkan kepada wajah dan kedua telapak tangan. (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz XII hal 519)
Adapun yang dimaksud dengan wajah adalah mulai dari ujung tumbuhnya rambut sampai kebagian bawah dari dagu dan selebar antara dua daun telinga dengan tidak menampakkan rambut, tenggorokan, telinga dan tidak juga leher.
Seorang wanita muslimah diharuskan menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya serta mengenakan kerudung yang menutupi kepala, leher dan dadanya kecuali wajah dan telapak tangannya. Yang dimaksud dengan wajah adalah mulai dari ujung tempat tumbuhnya rambut sampai ke bagian bawah dari dagu dan selebar antara dua daun telinga, sebagaimana dalil-dalil berikut :firman Allah swt :
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ
Artinya : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al Ahzab : 59)
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Artinya : “Dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya.” (QS. An Nuur : 31)

HIJAB & CADAR BAGI PEREMPUAN

Sun, 13 Aug 2006 21:10:47 -0700

http://www.eramuslim.com

Bolehkah Memakai Cadar?
Ass. wr. wb.

Ust. Ahmad yang semoga Allah meridhai ustaz. Isteri saya saat ini sudah
menggunakan hijab (penutup) dan sedang mempertimbangkan menggunakan cadar.
Alasan
isteri saya menggunakan cadar karena tidak ingin menjadi perhatian orang
(laki-laki) pada saat keluar rumah.

Pertanyaan saya:

1. Apa hukumnya dan dalilnya menggunakan cadar, boleh/tidak?
2. Jika boleh, apakah boleh hanya digunakan pada saat keluar rumah
saja/bepergian?
3. Apakah penggunaan cadar di Indonesia pada umumnya, dapat menggangu
kegiatan dakwah di lingkungan/sosial, mengingat saat ini masyarakat
memiliki persepsi negatif akan akhwat bercadar?

Sekian pertanyaan saya ust, jazakallah atas jawabannya.

Wassalaamu'alaikum,

Zulkifli

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Hukum Memakai Cadar

Memakai cadar atau niqab menurut para ulama hukumnya berbeda-beda. Ada
sebagina kalangan ulama yang justru mewajibkannya bagi wanita muslimah.
Ada juga yang hanya menyunnahkannya tanpa mewajibkannya, terutama dalam
kondisi banyak fitnah.

a. Pendapat yang Mewajibkan

Mereka yang mewajibkan berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian
dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis
non mahram. Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain:


Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu`min, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka`. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab: 59)

Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan
oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin
terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan
jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya,
kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu
Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada
kesepakatan di antara mereka tentang makna `jilbab` dan makna
`menjulurkan`.

Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat
dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di surat
An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya), Ibnu Abbas justru
berpendapat sebaliknya.

Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama
sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik
secara bahasa maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan
jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak
ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.

Dalil lainnya yang juga sering dikemukakan adalah:


Katakanlah kepada wanita yang beriman: `Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.` (QS. An-Nur: 31).

Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa
yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah,
karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud
dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.

Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi dari para shahabat
termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya
dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan `yang biasa nampak
darinya` bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat
ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.

Dalil lainnya lagi adalah:


Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang
tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini
isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan
itu adalah amat besar di sisi Allah.`(QS. Al-Ahzab: 53)

Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini untuk
menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa
wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski
khitab ayat ini kepada isteri Nabi, namun kewajibannya juga terkena
kepada semua wanita mukminah, karena para isteri Nabi itu adalah teladan
dan contoh yang harus diikuti.

Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga
kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para isteri
nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka (isteri nabi).

Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah
kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat
Rasulullah SAW dengan para isteri beliau. Kesucian hati ini kaitannya
dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para isteri nabi
nanti setelah beliau wafat.

Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi
dengan mengawini para janda isteri Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini
sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan bahwa ada
shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra. bila kelak Nabi wafat. Ini tentu
sangat menyakitkan perasaan nabi.

Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara
shahabat nabi dengan isteri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh
dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang
agung.

Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas merupakan
kekhusususan dalam bermuamalah dengan para isteri Nabi. Tidak ada
kaitannya dengan `al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah`.
Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan
isteri nabi. Dan mengqiyaskan antara para isteri nabi dengan seluruh
wanita muslimah adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al-fariq. Karena
para isteri nabi memang memiliki standart akhlaq yang khusus. Ini
ditegaskan dalam ayat Al-Quran.

`Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik,` (QS. Al-ahzab: 32)

b. Pendapat Kalangan yang Tidak Mewajibkan Cadar

Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah
bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta
mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat
salaf dari para shahabat Rasulullah SAW.

- Ijma` Shahabat

Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak
tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat
tentang masalah batas aurat wanita.

- Pendapat Para Fuqoha Bahwa Wajah Bukan Termasuk Aurat Wanita.

Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang
merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar).
Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat
adalah wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah
kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.

Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu As-Shaghir` atau sering disebut
kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan
bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan
mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu
bukan termasuk aurat.

Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya `al-Muhazzab`,
kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh
badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.

Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab
Al-Mughni 1: 1-6,`Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita
boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat

Daud yang mewakili kalangan Zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita
adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm
mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab
Al-Muhalla.

- Pendapat Para Mufassirin

Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas
aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan.
Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan
lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.

- Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan oleh Hadits Lainnya

Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak
berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat
Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern
sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut
sebagaimana tulisan beliau `hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih
Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.

- Perintah kepada Laki-laki untuk Menundukkan Pandangan.

Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan
pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah memang
tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.

`Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: `Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat. (QS. An-Nuur: 30)

Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan bahwa,

Janganlah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita) dengan
pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua
adalah ancaman/ dosa`. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).

Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah menundukkan
pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi.

2. Cadar dan Lingkungan Sosial

Mengingat bahwa masih merupakan khilaf di kalangan ulama, maka tentu
saja kita dihadapkan kepada dua pilihan.

Anggaplah kita memilih pendapat yang mewajibkan, maka tentu saja tidak
perlu lagi kita pertimbangkan masalah lingkungan sosial. Cadar wajib
dikenakan, tanpa harus memperhatikan urusan sosial.

Sebaliknya bila kita cenderung untuk menerima pendapat yang tidak
mewajibkan, maka tentu saja urusan lingukngan sosial perlu kita
perhatikan. Maksudnya, bila masyarakat masih belum bisa menerima
kehadiran cadar, rasanya tidak perlu untuk kita paksakan. Toh tidak ada
kewajibannya, sedangkan keresahan di tengah masyarakat tentu sangat
merugikan posisi seorang da'i di lingkungannya.

Orang-orang akan memandang asing masalah cadar ini, bahkan akan muncul
rasa antipati yang tidak produktif. Walhasil, kelancaran dakwah tentu
akan sangat terganggu hanya lantaran urusan cadar yang tidak wajib.

Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

CADAR DAN JILBAB BAGI PEREMPUAN

1. Jilbab tidak menarik.
Jawabnya seorang wanita muslimah harus sudi menerima kebenaran agama Islam, dan tidak mempermasalahkan senang atau tidak senang. Sebab rasa senangnya itu diukur dengan barometer hawa nafsu yang menguasai dirinya.

2. Takut durhaka kepada orang tuanya yang melarangnya berpakaianjilbab.
Jawabnya adalah Rasulullah SAW telah mengatakan agar tidak mematuhi seorang makhluk dalam durhaka kepada-Nya.

3. Tidak bisa membeli pakaian yang banyak memerlukan kain.
Jawabannya, orang yang mengatakan alasan seperti itu adalah karena (pertama) ia benar-benar sangat miskin sehingga tidak mampu membeli pakaian Islami. Atau (kedua) karena dia Cuma alasan saja, sebab ia lebih menyukai pakaian yang bugil sehingga tampak lekuk tubuhnya atau paha mulusnya bisa kelihatan orang.

4. Karena merasa gerah dan panas.
Jawabannya, wanita muslimah di Arab yang udaranya lebih panas saja mampu mengenakan pakaian Islami, mengapa di negara lainnya tidak? Dan orang yang merasa gerah dan panas mengenakan pakaian Islami, mereka tidak menyadari tentang panasnya api neraka bagi orang yang membuka aurat. Syetan telah telah menggelincirkan, sehingga mereka terasa bebas dari panasnya dunia, tetapi mengantarkannya kepada panas api neraka.

5. Takut tidak istiqamah.
Mereka melihat contoh wanita muslimah yang kurang baik ‘Buat apa mengenakan jilbab sementara, Cuma pertama saja rajin, nanti juga dilepas’. Jawabannya adalah mereka mengambil sample (contoh) yang tidak cocok, bukan wanita yang ideal (yang istiqamah) menjalankannya. Ia mengatakan hanya untuk menyelamatkan dirinya. Dan ia tidak mau mengenakan jilbab karena takut tidak istiqamah. Kalau saja semua orang berfikir demikian, tentunya mereka akan meninggalkan agama secara keseluruhan. Orang tidak akan shalat sama sekali karena takut tidak istiqamah, begitu pula puasa dan ibadah lainnya.

6. Takut tidak laku, jadi selama ia belum menikah, maka ia tidak mengenakan jilbab.
Jawabannya, adalah ucapan itu sebenarnya tidak sebenarnya. Justru berakibat buruk pada dirinya sendiri. Sesungguhnya pernikahan adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebagian besar orang audah meyakini bahwa jodoh di tangan Tuhan. Betapa banyak gadis yang berjlbab dan menutup aurat dalam berbusana tetapi lebih cepat mendapatkan jodoh dibandingkan mereka yang berpakaian seksi. Karena wanita yang menyukai pakaian seksi akan dijadikan permainan bagi laki-laki iseng.

Gadis-gadis berpakaian seksi dipandang sebagai gadis murahan. Sesungguhnya suami-suami yang menyukai wanita-wanita yang berpakaian ‘berani’, setengah bugil atau beneran, membuka aurat dan bermaksiat kepada Allah adalah bukan tipe suami yang baik, yang shalih dan berjiwa besar. Ia tidak punya rasa cemburu sama sekali terhadap larangan-larangan Allah dan tidak dapat memberikan pertolongan kepada isterinya kelak. Jadi jika wanita yang menyukai pakaian seksi atau melepaskan jilbab dengan tujuan mendapatkan jodoh yang baik, maka hal itu sungguh merupakan suatu kebodohan.

7. Menampakkan anugerah tubuh yang indah atau ingin menghargai kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya.
Jawabnya menghargai atau bersyukur itu dengan porsi yang benar. Bersyukur itu dengan mengahrgai perintah-Nya, yakni menjaga aurat, bukan dengan mengobralnya.

8. Belum mendapat hidayah, jilbab itu ibadah. Jika Allah memberi hidayah, pasti kami akan mengenakannya.
Jawabnya, Allah menciptakan segala sesuatu itu ada sebab-sebabnya. Misalnya orang yang sakit jika ingin sembuh hendaknya menempuh sebab-sebab bagi kesembuhannya. Adapun sebab yang harus ditempuh adalah berikhtiar dan berobat. Sebab orang kenyang karena makan, dsb. Maka demikian pula orang yang ingin mendapatkan hidayah itu harus menempuh sebab-sebab datangnya hidayah yakni dengan mematuhi perintah-Nya mengenakan jilbab.

9. Belum waktunya.
Sebagian ada yang berkata bahwa mengenakan jilbab itu harus tepat waktunya, misalnya karena masih anak-anak atau masih remaja. Ada yang akan mengenakannya jika sudah tua. Atau jika sudah menunaikan ibadah haji. Jawabnya adalah alasan mengulur-ulur waktu itu hanyalah sebagai sekedar dalil pembenaran saja. Itu sama artinya dengan orang yang menunda-nunda shalat, menunggu sampai ia berusia tua. Apakah kita tahu kapan kita akan meninggal dunia? Sedangkan mati itu tidak mengenal usia, tua maupun muda.

10. Tidak mau dianggap sebagai orang yang mengikuti golongan tertentu.
Jawabannya, bahwa anggapan ini karena dangkalnya pemahaman terhadap Islam atau karena dibuat-buat untuk menutupi diri agar tidak dituduh melanggar syari’at. Sesungguhnya di dalam Islam itu hanya ada dua golongan, yaitu golongan Hizbullah, golongan yang senantiasa menaati perintah Allah dan golongan Hizbus Syaithan, yakni golongan yang melanggar perintah Allah.

8/22/2009

Khutbah Rasulullah Akhir Sya'ban menjelang Ramadhan

Dari Salman r.a. meriwayatkan, "Rada hari terakhir di bulan sya'ban, Rasul berkhutbah kepada kami, "Wahai manusia, kini telah dekat kepadamu satu bulan yang agung, bulan yang syarat dengan berkah, yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan. demikianlah bulan yang Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardhu, dan salat tarawih di malamnya sebagai sunah. barang siapa ingin mendekatkan diri kepada Allah di bulan ini dengan amalan sunnat, maka pahalanya seolah-olah dia melakukan amalan fardhu pada bulan-bulan yang lain. dan barang siapa melakukan amalan fardhu pada bulan ini, maka dia akan dibalas dengan pahala seolah-olah telah melakukan 70 amalan fardhu pada bulan yang lain. Inilah bulan kesabaran dan ganjaran bagi kesabaran sejati adalah surga, bulan ini juga merupakan bulan simpati terhadap sesama. pada bulan ini rizki orang-orang beriman ditambah. Barang siapa memberi makan (untuk berbuka puasa)kepada orang yang berpuasa maka kepadanya dibalas dengan keampunan terhadap dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka jahanam dan dia juga memperoleh ganjaran yang sama sebagai mana yang berpuasa tadi tanpa sedikitpun mengurangi pahala orang yang berpuasa itu."

Kamipun berkata "Ya Rasulullah! tidak semua diantara kami mempunyai sesuatu yang dapat diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka."

Rasulullah menjawab," Allah akan mengaruniakan balasan ini kepada seseorang yang memberi buka walaupun dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau seisap susu. Inilah bulan yang Allah sepuluh hari pertamanya menurunkan rahmat, sepuluh hari pertengahannya Allah memberikan keampunan, dan sepuluh hari terakhirnya Allah membebaskan hamba-NYA dari api neraka jahanam. Barang siapa yang meringankan hamba sahayanya pada bulan ini, maka Allah SWT akan mengampuninya dan membebaskan dari api neraka. Perbanyaklah di bulan ini empat perkara. Dua perkara dapat mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan yang dua lagi kamu pasti memerlukannya. Dua perkara yang mendatangkan keridhaan Allah yaitu, hendaklah kalian membaca kalimah tayibah dan istighfar sebanyak-banyaknya. dan dua perkara yang pasti kita memerlukannya yaitu hendaklah kamu memohon kepada-Nya untuk masuk surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka Jahanam. Dan barang siapa memberi minum kepada orang yang berpuasa (untuk berbuka), maka Allah akan memberikan minum dari telagaku (Haudh) yang sekali minumnya tidak akan merasakan dahaga lagi sehingga dia memasuki surga. (HR Ibnu Khuzaimah dalam Sahihnya).

8/21/2009

Dari Salman r.a. meriwayatkan, "Rada hari terakhir di bulan sya'ban, Rasul berkhutbah kepada kami, "Wahai manusia, kini telah dekat kepadamu satu bulan yang agung, bulan yang syarat dengan berkah, yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan. demikianlah bulan yang Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardhu, dan salat tarawih di malamnya sebagai sunah. barang siapa ingin mendekatkan diri kepada Allah di bulan ini dengan amalan sunnat, maka pahalanya seolah-olah dia melakukan amalan fardhu pada bulan-bulan yang lain. dan barang siapa melakukan amalan fardhu pada bulan ini, maka dia akan dibalas dengan pahala seolah-olah telah melakukan 70 amalan fardhu pada bulan yang lain. Inilah bulan kesabaran dan ganjaran bagi kesabaran sejati adalah surga, bulan ini juga merupakan bulan simpati terhadap sesama. pada bulan ini rizki orang-orang beriman ditambah. Barang siapa memberi makan (untuk berbuka puasa)kepada orang yang berpuasa maka kepadanya dibalas dengan keampunan terhadap dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka jahanam dan dia juga memperoleh ganjaran yang sama sebagai mana yang berpuasa tadi tanpa sedikitpun mengurangi pahala orang yang berpuasa itu."

Kamipun berkata "Ya Rasulullah! tidak semua diantara kami mempunyai sesuatu yang dapat diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka."

Rasulullah menjawab," Allah akan mengaruniakan balasan ini kepada seseorang yang memberi buka walaupun dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau seisap susu. Inilah bulan yang Allah sepuluh hari pertamanya menurunkan rahmat, sepuluh hari pertengahannya Allah memberikan keampunan, dan sepuluh hari terakhirnya Allah membebaskan hamba-NYA dari api neraka jahanam. Barang siapa yang meringankan hamba sahayanya pada bulan ini, maka Allah SWT akan mengampuninya dan membebaskan dari api neraka. Perbanyaklah di bulan ini empat perkara. Dua perkara dapat mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan yang dua lagi kamu pasti memerlukannya. Dua perkara yang mendatangkan keridhaan Allah yaitu, hendaklah kalian membaca kalimah tayibah dan istighfar sebanyak-banyaknya. dan dua perkara yang pasti kita memerlukannya yaitu hendaklah kamu memohon kepada-Nya untuk masuk surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka Jahanam. Dan barang siapa memberi minum kepada orang yang berpuasa (untuk berbuka), maka Allah akan memberikan minum dari telagaku (Haudh) yang sekali minumnya tidak akan merasakan dahaga lagi sehingga dia memasuki surga. (HR Ibnu Khuzaimah dalam Sahihnya).

Fadhilat Tarawikh

@@ Fadhilat Tarawikh @@
KELEBIHAN SEMBAHYANG SUNAT TARAWIH

Di riwayatkan oleh Saiyidina Ali (r.a.) daripada Rasulullah S.A.W., sebagai jawapan dari pertanyaan sahabat-sahabat Nabi S.A.W. tentang fadhilat (kelebihan) sembahyang sunat tarawih pada bulan Ramadan:

Malam 1:

Keluar dosa-dosa orang mukmin pada malam pertama sepertimana ia baru dilahirkan, mendapat keampunan dari Allah.

Malam 2:

Diampunkan dosa-dosa orang mukmin yang sembahyang tarawih serta kedua ibubapanya (sekiranya mereka orang beriman).

Malam 3:

Berseru Malaikat di bawah 'Arasy' supaya kami meneruskan sembahyang tarawih terus-menerus semoga Allah mengampunkan dosa engkau.

Malam 4:

Memperolehi pahala ia sebagaimana pahala orang-orang yang membaca kitab-kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran.

Malam 5:

Allah kurniakan baginya pahala seumpama orang sembahyang di Masjidilharam, Masjid Madinah dan Masjidil Aqsa.

Malam 6:

Allah kurniakan pahala kepadanya pahala Malaikat-malaikat yang tawaf di Baitul Ma'mur (70 ribu malaikat sekali tawaf), serta setiap batu-batu dan tanah-tanah mendoakan supaya Allah mengampunkan dosa-dosa orang yang mengerjakan sembahyang tarawih pada malam ini.

Malam 7:

Seolah-olah ia dapat bertemu dengan Nabi Musa serta menolong Nabi 'Alaihissalam menentang musuh ketatnya Fi'raun dan Hamman.

Malam 8:

Allah mengurniakan pahala orang sembahyang tarawih sepertimana yang telah dikurniakan kepada Nabi Allah Ibrahim 'Alaihissalam.

Malam 9:

Allah kurniakan pahala dan dinaikkan mutu ibadat hambanya seperti Nabi Muhamad S.A.W.

Malam 10:

Allah Subhanahuwata'ala mengurniakan kepadanya kebaikan di dunia dan akhirat.

Malam 11:

Keluar ia daripada dunia (mati) bersih daripada dosa seperti ia baharu dilahirkan.

Malam 12:

Datang ia pada hari Qiamat dengan muka yang bercahaya (cahaya ibadatnya).

Malam 13:

Datang ia pada hari Qiamat dalam aman sentosa daripada tiap-tiap kejahatan dan keburukan.

Malam 14:

Datang Malaikat menyaksikan ia bersembahyang tarawih, serta Allah tiada menyesatkannya pada hari Qiamat.

Malam 15:

Semua Malaikat yang menanggung 'Arasy, Kursi, berselawat dan mendoakan supaya Allah mengampunkan.

Malam 16:

Allahsubhanahuwata'ala tuliskan baginya terlepas daripada neraka dan dimasukkan ke dalam Syurga.

Malam 17:

Allah kurniakan orang yang bertarawih pahalanya pada malam ini sebanyak pahala Nabi-Nabi.

Malam 18:

Seru Malaikat: Hai hamba Allah sesungguhnya Allah telah redha kepada engkau dan ibubapa engkau (yang masih hidup atau mati).

Malam 19:

Allah Subhanahuwataala tinggikan darjatnya di dalam Syurga Firdaus.

Malam 20:

Allah kurniakan kepadanya pahala sekalian orang yang mati syahid dan orang-orang solihin.

Malam 21:

Allah binakan sebuah istana dalam Syurga daripada nur.

Malam 22:

Datang ia pada hari Qiamat aman daripada tiap-tiap dukacita dan kerisauan (tidaklah dalam keadaan huru-hara di Padang Mahsyar).

Malam 23:

Allah subhanahuwataala binakan kepadanya sebuah bandar di dalam Syurga daripada nur.

Malam 24:

Allah buka peluang 24 doa yang mustajab bagi orang bertarawih malam ini, (elok sekali berdoa ketika dalam sujud).

Malam 25:

Allah Taala angkatkan daripadanya siksa kubur.

Malam 26:

Allah kurniakan kepada orang bertarawih pahala pada malam ini seumpama 40 tahun ibadat.

Malam 27:

Allah kurniakan orang bertarawih pada malam ini ketangkasan melintas atas titian Sirotolmustaqim seperti kilat menyambar.

Malam 28:

Allah Subhanahuwataala kurniakan kepadanya pahala 1000 darjat di akhirat.

Malam 29:

Allah Subhanahuwataala kurniakan kepadanya pahala 1000 kali haji yang mabrur.

Malam 30:

Allah Subhanahuwataala beri penghormatan kepada orang bertarawih pada malam terakhir ini yang teristimewa sekali, lalu berfirman: "Hai hambaKu: Makanlah segala jenis buah-buahan yang engkau ingini hendak makan di dalam syurga, dan mandilah engkau daripada air syurga yang bernama Salsabila, serta minumlah air daripada telaga yang dikurniakan kepada Nabi Muhammad S.A.W. yang bernama 'Al-Kauthar"."

Marhaban ( Selamat datang ) Yaa Ramadhan

Marhaban Yaa Ramadhan
Ditulis oleh Muhammad Niam

Seluruh umat Islam kini menyerukan 'Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan", selamat datang Ramadhan, Selamat datang Ramadhan. Di masjid-masjid, musholla, koran-koran, stasiun televisi dan radio dan berbagai mailing list, ungkapan selamat datang Ramadhan tampil dengan berbagai ekpresi yang variatif.

Setiap media telah siap dengan dengan sederet agendanya masing-masing. Ada rasa gembira, ke-khusyu'-an, harapan, semangat dan nuansa spiritualitas lainnya yang sarat makna untuk diekpresikan. Itulah Ramadhan, bulan yang tahun lalu kita lepas kepergiannya dengan linangan air mata, kini datang kembali.

Sejumlah nilai-nilai dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa pun marak dikaji dan kembangkan. Ada nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti: pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya. Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.

Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita. Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa (baca: mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih mumpuni.

Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan. Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan. Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini. Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan.

Dengan mempersiapkan dan memprogram aktifitas kita selama bulan Ramadhan ini, insya Allah akan menghasilkan kebahagiaan. Kebahagiaan akan terasa istimewa manakala melalui perjuangan dan jerih payah. Semakin berat dan serius usaha kita meraih kabahagiaan, maka semakin nikmat kebahagiaan itu kita rasakan. Itulah yang dijelaskan dalam sebuah hadist Nabi bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan.

Pertama yaitu kebahagiaan ketika ia "Ifthar" (berbuka). Ini artinya kebahagiaan yang duniawi, yang didapatkannya ketika terpenuhinya keinginan dan kebutuhan jasmani yang sebelumnya telah dikekangnya, maupun kabahagiaan rohani karena terobatinya kehausan sipritualitas dengan siraman-siraman ritualnya dan amal sholehnya.

Kedua, adalah kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Inilah kebahagian ukhrawi yang didapatkannya pada saat pertemuannya yang hakiki dengan al-Khaliq. Kebahagiaan yang merupakan puncak dari setiap kebahagiaan yang ada.

Akhirnya, hikmah-hikmah puasa dan keutamaan-keutaman Ramadhan di atas, dapat kita jadikan media untuk bermuhasabah dan menilai kualitas puasa kita. Hikmah-hikmah puasa dan Ramadhan yang sedemikian banyak dan mutidimensional, mengartikan bahwa ibadah puasa juga multidimensional. Begitu banyak aspek-aspek ibadah puasa yang harus diamalkan agar puasa kita benar-benar berkualitas dan mampu menghasilkan nilai-nilai positif yang dikandungnya. Seorang ulama sufi berkata "Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum". Ini berarti di sana masih banyak puasa-puasa yang tidak sekedar beroleh dengan jalan makan dan minum selama sehari penuh, melainkan 'puasa' lain yang bersifat batiniah.

Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktifitas dan ibadah-ibadah dengan ihlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.

Tingkatan Puasa

@@ Tingkatan Puasa @@

Menurut Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, tingkatan puasa diklasifikasi menjagi tiga, yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus yang lebih khusus lagi.

Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan dari makan, minum dan jima'. Puasa khusus, di samping menahan yang tiga hal tadi, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan apa-apa yang selain Allah.

Puasa level ketiga tadi adalah puasanya para nabi-nabi, shiddiqin, dan muqarrabin. Sedangkan puasa level kedua adalah puasanya orang-orang salih - puasa tingkat ini yang seharusnya kita tuju untuk mencapainya.

Selanjutnya imam Al Ghazali menjelaskan enam hal untuk mencapai kesempurnaan puasa tingkatan kedua itu. Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah. Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa meninggalkan pandangan karena takut kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan padanya keimanan yang mendatangkan kemanisan dalam hatinya.

Kedua menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Alquran. "Dua perkara merusakkan puasa," sabda Rasulullah SAW, "Yaitu mengumpat dan berbohong."

Ketika, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya. Rasulullah SAW menjelaskan: Yang mengumpat dan yang mendengar, berserikat dalam dosa. Keempat, mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Seperti mencegah tangan dan kaki dari berbuat maksiat dan mungkar, mencegah perut dari memakan yang syubhat dan haram.

Kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sampai perutnya penuh makanan. Orang yang berbuka secara berlebihan tentu tidak akan dapat memetik manfaat dan hikmah puasa. Bagaimana dia berusaha mengalahkan musuh Allah dan mengendalikan hawa nafsunya, jika saat berbuka dia justru memanjakan nafsunya dengan makanan yang terhitung banyak dan jenisnya.

Keenam, hatinya senantiasa diliputi perasaan cemas (khauf) dan harap (raja'), karena tidak diketahui apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualiti puasa yang telah dilakukan, sedangkan penuh harap berperanan dalam menumbuhkan optimisme.

KHUTBAH NABI MENYAMBUT Ramadhan

@@ KHUTBAH NABI MENYAMBUT @@
@@ Ramadhan @@

"Wahai manusia, sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu'."

"Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan yang lain."

"Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan (syahrul muwasah) dan bulan Allah memberikan rizqi kepada mukmin di dalamnya."

"Barangsiapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang."

Para sahabat berkata, "Ya Rasulullah, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah saw, "Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu."

"Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya Allah mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka."

"Oleh karena itu banyakkanlah yang empat perkara di bulan Ramadhan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya."

"Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mohon ampun kepada-Nya . Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka."

"Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga." (HR. Ibnu Huzaimah).

Berbagai Peristiwa di Bulan Ramadhan

Berbagai Peristiwa di Bulan Ramadhan

Di bulan Ramadhan Al Qur’an di turunkan. Dialah wahyu Allah yang menjadi petunjuk hidup manusia. Dialah mu’jizat yang dianugerahkan Allah kepada manusia.

Tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijrah, hari Jum’at pagi, terjadi peperangan Badr al-Kubra. Sebuah perang besar terbuka yang pertama kalinya terjadi antara kaum Muslimin melawan kaum musyrik. Pertempuran terjadi di sebuah lembah di dekat kota Madinah, yaitu di Badr. Kekuatan kaum Muslimin waktu itu, sekitar 300 orang, setiap dua orang satu unta. Sedangkan kekuatan kaum kafir sekitar 1000 orang dengan perincian 700 orang naik unta dan lebih dari 100 orang adalah pasukan berkuda. Berarti satu orang Muslim harus menghadapi 3 lawan. Pertempuran dimenangkan oleh kaum Muslimin dengan gilang-gemilang.

Tanggal 18 Ramadhan tahun ke-8 Hijrah Rasulullah bersama 12 000 kaum Muslimin bertolak dari Madinah menuju Makkah untuk membebaskan Makkah. Peristiwa bebasnya kota Makkah terkenal dengan sebutan Futuh Makkah. Pembukaan kota Makkah menandai sebuah era baru di dalam Islam, setelah sebelumnya kaum Muslimin selalu disiksa, ditindas, bahkan terakhir dikepung oleh pasukan Ahzab (sekutu) selama berminggu-minggu di Madinah. Era baru yang dibangkitkan oleh Rasulullah dengan perang Ahzab dengan sabdanya,“Kaum Quraisy tidak akan berani mendatangi (menyerang) kamu sesudah tahun ini, telah lenyap musnah kekuatan mereka, dan mereka tidak akan memerangi kita sesudah hari ini, dan sekarang giliran kita akan memerangi mereka, Insya Allah.“

Bulan Ramadhan tahun ke-91 Hijrah, kaum Muslimin di bawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad membuka Andalusia(Spanyol). Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Futuh Andalusia. Thariq bin Ziyad menyeberangi selat antara Afrika dan Eropah atas perintah Musa bin Nushair penguasa Islam kala itu. Ketika pasukan Islam sudah sampai di seberang, diperintahkannya agar kapal-kapal perang Islam dibakar. Kemudian ia berpidato didepan pasukannya :„Musuh di depan kalian. Apabila kalian mundur, maka lautan dibelakang kalian..“ Agaknya langkah yang beliau ambil dalam membangkitkan semangat kaum muslimin sangat tepat. Tidak ada lagi jalan untuk mundur. Yang ada hanyalah berjuang sekuat tenaga dan mengharap pertolongan Allah. Berturut-turut kota demi kota jatuh ke tangan kaum Muslimin. Akhirnya pada bulan Ramadhan jatuhlah Andalusia ke tangan kaum Muslimin. Sejarah mencatat bahwa di kemudian hari Andalusia menjadi pusat ilmu pengetahuan dan menjadi mercu peradaban manusia di zamannya. Kemajuan teknologi yang diperoleh orang-orang Eropah zaman sekarang hanyalah merupakan perpanjangan teknologi umat Islam masa silam.

Futuh bilaad Al-Ghaal (dibukanya daerah „Ghaal“ atau dalam bahasa Perancis pays des Gualles). Jatuhnya daerah Ghaal yang sekarang letaknya di Perancis juga terjadi di bulan Ramadhan. Peristiwa ini terjadi di zaman Islam di Andalusia.

Ma’rakah ‘Ainu Jaaluut (perang ‘ainu jaaluut). Peperangan ini terjadi dengan latar belakang jatuhnya Daulah Abbasiyyah. Kala itu pasukan Tartar (Mongol) yang ganas mengirim ekspedisi ke arah barat. Ketika sampai di daerah kekhalifahan Abbasiyyah terjadilah pengacauan-pengacauan sampai akhirnya mereka bergerak menuju Baghdad. Baghdad yang kala itu merupakan pusat intelek berhasil mereka hancurkan. Khalifah beserta segenap keluarganya mereka bunuh. Buku-buku perpustakaan di Baghdad mereka tenggelamkan di Sungai Tigris untuk membuat jembatan penyeberangan. Dalam sejarah digambarkan betapa air sungai Tigris kala itu berwarna kehitam-hitaman karena terlalu banyaknya tinta yang larut. Demikianlah akhir dari sebuah peradaban modern Islam di Baghdad. Pasukan Mongol terus bergerak ke barat menuju Syams (sekarang meliputi Syria, Palestina, Yordania, Libanon). Umat Islam tidaklah tinggal diam membiarkan orang-orang kafir merobek-robek kemuliaan umat. Penguasa Mesir kala itu Sa ifuddin Quths menggerakkan pasukan Islam menuju Syams untuk menghalang orang-orang Mongol. Seorang tokoh penting yang sangat berpengaruh membentuk kepribadian Quths adalah seorang ulama yang bernama Al-’Izz bin ‘abdis Salaam. Beliaulah yang mentarbiyyah (membina) Saifuddin Quths menjadi seorang berkepribadian islami. Dua buah pasukan besar tersebut akhirnya bertemu di sebuah tempat yang bernama ‘Ainul Jaaluut (letaknya di Palestina). Sejarah akhirnya mencatat bahwa di‘ainul Jaaluut-lah akhirnya ekspansi pasukan Tartar dipatahkan oleh kaum Muslimin.

7/30/2009

Pengrtian Iman

Dinnul Islam atau juga dikatakan Al Islam ialah satu penataan hidup
(budaya kehidupan) yang tangguh tiada tanding. Dimana adalah
merupakan system budaya hidup yang adil makmur, saling menghambur
kasih , tolong menolong, nasehat-menasehati, saling lindung
melindungi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi bagaikan satu
bangunan jasad (kal jasadi wahid).Tapi kenapa kini sesudah sekian
abad Al Qur'an diturunkan kita tidak melihat Al Islam itu muncul
dipermukaan. Kita lihat system hidup sekarang adalah satu budaya
hidup yang saling hantam, peperangan dimana-mana, kemiskinan semakin
menjadi-jadi, yang kuat menindas yang lemah, pembunuhan,
pemerkosaan, perampokan, penindasan, hukum jadi mainan orang
berduit, perjudian, sex bebas, korupsi dan kolusi pejabat, dan lain-
lain. Seolah-olah kehidupan ini mundur ke belakang ke sebelum Al
Qur'an diturunkan yakni abad kehidupan jahiliyah. Kenapa ini
terjadi ? apanya yang salah? Al Qur'an-kah? Atau kita ? dengan jujur
kita katakan bahwa kitalah yang salah. Kita akui bahwa kita
memperlakukan Al Qur'an tidak lebih hanya sebagai hiasan rumah
penunggu lemari, sebagai hiasan mulut dengan bacaan-bacaan yang
indah, sebagai ilmu mistik yang diagung-agungkan yang mengharapkan
keajaiban dari ayat-ayatnya.
Oleh sebab itu mari sekarang kita kembalikan Al Qur'an pada fungsi
yang sebenarnya yakni sebagai pedoman bagi yang mau hidup muttaqin,
seperti dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 2 sbb:
"Ini satu kitab yang tidak diragukan lagi keilmiahannya sebagai
pedoman hidup bagi yang mau hidup dengan penataan yang tiada
tanding".
Turunnya Al Qur'an ke muka bumi adalah satu anugerah yang besar
untuk kehidupan manusia. Tetapi untuk menjadikannya pedoman hidup
perlu perjuangan dengan mengerahkan segenap kemampuan. Dalam
perjuangan itu perlu satu dasar yang kuat sebagai motifator yang
mendorong dan membakar daya kemampuan kita. Dasar yang kuat itu
adalah Iman. Iman sebagai landasan harus dipahami dengan benar,
sebab jika salah memahaminya maka seterusnya kita akan berada dalam
kesalahan yang tiada berujung.
Oleh karena itu kita mulai saja dengan pembahasan masalah Iman.

PENGERTIAN IMAN SECARA UMUM

Kenapa yang pertama itu diajukan Pengertian Iman Secara Umum ? sebab
istilah iman ini merupakan istilah kunci (strategis) didalam study
Al-Qur'an. Jika istilah iman ini tidak terpecahkan maka tidak akan
memahami semua istilah didalam Al-Qur'an. Dan jika istilah iman itu
diartikan salah maka tidak ada jaminan yang lainnya itu akan benar.
Kita akan membagi pembahasan ini sebagai berikut:
1. Arti Kata Iman.
2. Ruang Lingkup Iman
3. Nilai dan Harga Iman
4. Definisi Iman
5. Sejarah Iman.

1. Arti Kata Iman

Yang dimaksud Arti Kata adalah pemecahan bentuk kata menjadi bentuk
kata yang lain atau hubungan satu bentuk kata dengan kata yang lain.
Sehingga Arti Kata Iman adalah pemecahan bentuk kata Iman sebagai
kata dasar menjadi berbagai bentuk kata yang lain. Sehingga kita
akan menemukan di dalam Al-Qur'an kata-kata : aamana , yu minu , ii
maanan, yang merupakan hasil pemecahan dari bentuk kata Iman.
Terjemahan umum dari kata-kata tersebut adalah:
aamana = telah / sudah ber-iman.
yu minu = sedang / akan / lagi ber-iman.
iimanan = Iman
mu minu = yang ber-iman.
Didalam memberikan definisi tentang perkataan Iman ini menurut yang
ada sama dengan Percaya atau menurut Arab sama dengan : 'aqdun bil
qolbi faqath . Sedangkan Iman berdasarkan Al-Qur'an, seperti
dijelaskan oleh hadits:
Al iimaanu 'aqdun bil qolbi wa ikraarun bil lisani wa 'amalu bil
arkan.
Artinya : Iman adalah tanggapan hati (proses menanggapi) kemudian
dinyatakan dalam lisan (proses pernyataan diri/sikap) dan menjelma
kedalam seluruh laku perbuatan (proses pembuktian dalam hidup). Atau
dengan kata lain Iman adalah tambatan hati yang menggema ke dalam
seluruh ucapan dan laku perbuatan.
Dengan arti perkataan Iman berdasarkan hadits tersebut di
atas sebenarnya sudah sekaligus memberikan Ruang Lingkup Iman.

2. Ruang Lingkup Iman.

Yang dimaksud Ruang Lingkup adalah batasan-batasan yang
disentuh oleh arti perkataan. Seperti contoh sebidang kebun, ruang
lingkup kebun berarti batasan-batasan yang disentuh oleh kebun itu
sendiri, sebelah barat-timur-utara-selatan-nya dengan apa.
Berdasarkan hadits tersebut maka Ruang Lingkup Iman meliputi:
'aqdun bil qlbi = tanggapan hati, ikraarun bil lisani = pernyataan
lisan,'amalun bil arkan = pembuktian dalam perbuatan. Dengan
demikian maka ruang lingkup iman meliputi tiga aspek aktivitas hidup
manusia, yaitu aspek penanggapan, aspek pernyataan dan aspek
pembuktian. Dari aspek penanggapan dan pernyataan akan melahirkan
atau membentuk satu Pandangan Hidup dan dari ketiga aspek akan
membentuk Sikap Hidup. Jadi berdasar pada Hadits di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa Iman sama dengan Pandangan dan Sikap dalam
perjalanan hidup atau Pandangan dan Sikap Hidup.
Perkataan Iman tidak akan menjadi sempurna kecuali jika
kepadanya ditambahkan atau dihubungkan dengan perkataan yang lain.
Dengan kata lain perkataan Iman belum bernilai kecuali bila
digandeng dengan sesuatu yang lain. Jadi kita tidak tahu apa yang
ditanggapi kemudian apa yang diikrarkan dan apa yang akan dibuktikan
dalam amal perbuatan.

3. Nilai dan Harga Iman

Nilai adalah kemampuan sesuatu membikin sedemikian rupa,
sedangkan Harga adalah sejumlah pengorbanan untuk mendapatkan nilai.
Contoh beras. Satu liter beras mempunyai kemampuan (bernilai) untuk
mengenyangkan tiga orang dalam satu waktu tertentu. Kemampuan
(nilai) beras tidak dipengaruhi oleh mau atau tidak mau-nya
manusia. Untuk mendapatkan satu liter beras kita harus mengeluarkan
sejumlah pengorbanan misalnya sejumlah uang sesuai dengan harga
beras tersebut. Pengorbanan disini bukan pada bentuk uangnya tapi
pada kerja kita untuk mendapatkan uang tersebut. Jadi Nilai ada pada
benda (dalam hal ini beras) dan harga ada pada manusia (bentuk
pengorbanannya).
Nilai Iman adalah kemampuan isi Iman menghantarkan manusia
membentuk satu tatanan budaya kehidupan yang tangguh. Harga Iman
adalah sejumlah pengorbanan yang kita lakukan untuk mendapatkan
Nilai Iman.
Seperti telah disinggung di atas bahwa perkataan Iman belum
bernilai sebelum digandeng dengan perkataan yang lain. Iman akan
bernilai setelah digandeng dengan satu ajaran, seperti dalam surat
Al-Baqarah ayat 4 sbb:
Artinya: "(Yang disebut Muttaqin) yaitu yang hidup berpandangan dan
bersikap dengan apa yang telah diturunkan menurut sunnah anda
(Muhammad) yakni yang sama dengan apa yang telah diturunkan menurut
sunnah Rasul-Rasul sebelum anda, dengan mana mereka meyakini tujuan
terakhir (Hasanah di dunia dan hasanah di akhirat) dalam keadaan
bagaimana pun".
Seperti berdasar hadits bahwa Iman adalah Pandangan dan
Sikap Hidup, maka yu minuuna bima ungjila ilaika jangan lagi
diartikan mereka yang percaya pada penurunan Al Qur'an , tetapi
mereka yang berpandangan dan bersikap hidup dengan sesuatu yakni Al-
Qur'an yang telah diturunkan menjadi menurut sunnah Rasul (Muhammad)
atau Al Qur'an menurut sunnah Rasul . Jadi disini nilai Iman
ditentukan oleh ajaran Allah yakni Al-Qur'an menurut sunnah Rasul
dan Iman yang demikian disebut Iman yang bernilai Haq. Maka
konsekwensinya: wa bil akhirati hum yu qinun akan mencapai satu
kesudahan terakhir hasanah fid dunya wa hasanah fil akhirat.
Sesungguhnya nilai Iman itu tidak hanya ditentukan oleh Al-
Qur'an menurut sunnah Rasul saja, tetapi bisa juga oleh ajaran lain
seperti diberitakan dalam surat An-Kabut ayat 52 sbb
Artinya: "Tegaskan (hai Muhamad/Orang Beriman) cukuplah Allah
(dengan pembuktian Al Qur'an ms rasul) ini menjadi pemberi kesaksian
diantara saya (yang hidup berpandangan dan bersikap dengan Al-Qur'an
menurut Sunnah Rasul ) dan kalian (yang hidup berpandangan dan
bersikap dengan Dzulumat menurut Sunnah Syayatin). (Allah) yang meng-
Ilmu-i segala kehidupan organis - biologis dan kehidupan sosial
budaya. Dan mereka hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran
Bathil, yaitu mereka yang bersikap negatif terhadap ajaran Allah (Al-
Qur'an menurut sunnah Rasul-Nya) niscaya mereka yang demikian adalah
yang hidup rugi (perusak kehidupan dimana saja pun)".
Jadi nilai Iman disini ditentukan oleh ajaran Bathil dan
Iman yang demikian dikatakan Iman yang bernilai Bathil. Maka
konsekwensinya ula ika humul khaasiruun niscaya mereka yang demikian
adalah yang hidup rugi/perusak kehidupan dimana saja pun.
Apa itu ajaran Bathil? Maka berdasarkan surat An-Nisa ayat
51 :Artinya; "Tidakkah kalian melihat mereka yang telah mendapat
nasib kehidupan sial dari para Ahli Kitab, mereka hidup berpandangan
dan bersikap menurut ajaran Idealisme (Jibti) dan Naturalisme
(Thagut) dan mereka berkata kepada yang bersikap negative terhadap
ajaran Allah ms Rasul (hidup atas pilihan Dzulumat ms Syayatin)
bahwa: dibanding dengan mereka yang hidup berpandangan dan bersikap
dengan ajaran Allah ms Rasul-Nya, mereka memiliki system kehidupan
yang lebih ilmiah adanya".
Ajaran Bathil itu terdiri dari ajaran Jibti (Idealisme) dan Thagut
(Naturalisme).

Pembuktian siapa mereka penganut ajaran Bathil sebenarnya perhatikan
Surat Al-Bayyinah ayat 1 sbb:
Artinya: "Orang-orang kafir (yg bersikap negative terhadap ajaran
Allah ms Rasul) yang terdiri dari para Ahli Kitab dan musyrikin
(yang hidup dualisme dengan Dzulumat ms Syayatin) tidak akan
meninggalkan (ajaran Dzulumat ms Syayatin), sebelum mereka mendapat
pembuktian ilmiah (dari Allah ms Rasul-Nya)".
Jadi berdasar ayat di atas bahwa Jibti = Ahlul Kitab
sedangkan Thagut = Musyrikin dan mereka semua adalah golongan Kafir.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Al-Qur'an
memberikan nilai kepada perkataan Iman menjadi dua golongan yakni
Iman Haq dan Iman Bathil. Dimana Iman Haq adalah Pandangan dan
Sikap hidup dengan ajaran Al Qur'an menurut sunnah Rasul atau
dengan Ajaran Nur sedangkan Iman Bathil adalah Pandangan dan Sikap
hidup dengan ajaran Dzulumat menurut sunnah Syayatin atau Ajaran
Dzulumat.

4. Definisi Iman.

Yang dimaksud dengan definisi adalah keterangan singkat yang
menggambarkan wujud makna secara menyeluruh dan bulat dari satu
uraian.
Definisi Iman terbagi menjadi :
a. Definisi Iman Secara Umum, yaitu Pandangan dan Sikap Hidup
baik dengan ajaran Allah dan atau selainnya.
b. Definisi Iman Secara Khusus :
1) Iman Haq, Pandangan dan Sikap Hidup dengan ajaran Al Qur'an
menurut sunnah Rasul pelakunya disebut Mu'min.
2) Iman Bathil, Pandangan dan Sikap Hidup dengan ajaran
Dzulumat menurut sunnah Syayatin , pelakunya disebut Kafir.

Begitulah definisi Iman berdasarkan Al-Qur'an ms Rasul, yang oleh
Nabi Muhamad saw telah diajarkan pada permulaan abad ke 7 Masehi.
Dan tanggapan abad ke 20 sekarang ini bahwa Iman ialah Percaya,
menjadi bukti bawa `iman sama denga percaya' adalah satu produk
sejarah oleh tangan-tangan kotor manusia.

6/04/2009

Kiat Sukses Membangun Kepercayaan Diri

Kiat Sukses Membangun Kepercayaan Diri


Banyak ahli menilai, percaya diri merupakan faktor penting yang menimbulkan perbedaan besar antara sukses dan gagal. Karenanya, tidak sedikit pula yang memberikan pandangannya mengenai teknik-teknik membangkitkan rasa percaya diri.


Dalam dimensi yang sangat luas, sukses adalah milik semua orang. Tetapi, tidak semua orang tahu bagaimana cara mendapatkan atau meraih kesuksesan. Kebanyakan orang menilai bahwa kesuksesan adalah milik orang-orang yang ber-IQ tinggi, lulusan sekolah terbaik dan memilih spesialisasi yang paling terkenal.

Penilaian ini memang tidak sepenuhnya salah, tetapi kita juga harus melihat fenomena yang lebih luas, bahwa tidak sedikit orang-orang sukses yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Dengan kata lain, IQ tinggi, lulusan sekolah terbaik dan spesialisasi yang terkenal hanyalah bagian dari penunjang kesuksesan.

Di luar kemampuan itu, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam memprediksi kesuksesan seseorang; itulah yang kita sebut, antusiasme, hasrat, ketekunan, kerja keras, serta kebulatan tekad seumur hidup yang dimilikinya.

Sebagian pakar menilai bahwa untuk mencapai sukses, kematangan pribadi seseorang sangat dibutuhkan. Sebab kematangan pribadi akan mengantarkan seseorang pada sikap optimis dan kesadaran bahwa apa yang dicita-citakannya akan mudah diraih.

Di sisi lain, meraih kesuksesan jelas bukanlah perkara gampang. Ketika kita berusaha untuk meraih apa yang kita inginkan, tentu banyak tantangan yang harus dihadapi. Ada kalanya seseorang begitu tegar, tetapi tidak sedikit juga yang patah semangat bahkan menyerah karena merasa tidak sanggup menghadapi tantangan yang ada di depannya.

Pada saat semacam inilah, rasa percaya diri sangat penting ditumbuhkan. Banyak ahli menilai bahwa percaya diri merupakan faktor penting yang menimbulkan perbedaan besar antara sukses dan gagal. Karenanya, tidak sedikit pula yang memberikan pandangannya mengenai teknik-teknik membangkitkan rasa percaya diri. Berikut ini adalah beberapa kiat guna membangun percaya diri.

Pertama, berani menerima tanggung jawab. Gerald Kushel, Ed.D., direktur The Institute of Effective Thinking, pernah mengadakan penelitian terhadap sejumlah manajer. Dari penelitian tersebut, Kushel menyimpulkan bahwa ia menemukan sifat terpenting yang dimiliki oleh hampir semua manajer yang memiliki kinerja tinggi.

Dan sifat tersebut adalah rasa tanggung jawab yang mendorong mereka untuk tampil "sempurna" tanpa peduli pada hambatan apapun yang menghadangnya. Sebaliknya, manajer yang berkinerja buruk dan gagal mencapai kapasitas maksimumnya cenderung melimpahkan kesalahannya pada siapa saja.

Kedua, kembangkan nilai positif. Jalan menuju kepercayaan diri akan semakin cepat manakala kita mengembangkan nilai-nilai positif pada diri sendiri. Menurut psikolog Robert Anthony, PhD., salah satu cara untuk mengembangkan nilai-nilai positif adalah dengan menghilangkan ungkapan-ungkapan yang mematikan dan menggantinya dengan ungkapan-ungkapan kreatif. Dia menganjurkan membuat peralihan bahasa yang sederhana tapi efektif dari pernyataan negatif ke pernyataan positif. Misalnya, mengganti kata, "Saya tidak bisa," menjadi, "Saya bisa!"

Ketiga, bacalah potensi diri. Segeralah lacak, gali, dan eksplorasi potensi sukses yang ada pada diri kita. Misalnya dengan bertanya kepada orang-orang terdekat. Termasuk juga mengikuti psikotes dan mendatangi para ahli seperti psikiater, dokter bahkan kiai untuk melacak potensi kita. Karena bisa jadi sangat banyak potensi yang kita miliki tanpa kita sadari, sehingga tidak berhasil kita gali.

Keempat, berani mengambil risiko. Keberanian dalam mengambil risiko ini penting, sebab daripada menyerah pada rasa takut alangkah lebih baik belajar mengambil risiko yang masuk akal. Cobalah menerima tantangan, kendati terasa menakutkan atau menciutkan hati. Cari dukungan sebanyak mungkin.

Dengan melakukan hal ini, kita akan mendapat banyak peluang yang tak ternilai harganya. Namun jangan lupa, ketika mencoba sesuatu kita harus siap dengan hasil yang sesuai atau tidak sesuai dengan keinginan.

Kalau hasilnya tak sesuai dengan keinginan, bisa jadi itulah yang terbaik menurut Allah Azza wa Jalla. Kalau kita sudah mencoba, maka niatnya saja sudah menjadi amal. Orang yang gagal adalah orang yang tak pernah berani mencoba. Bukankah menaiki anak tangga kelima puluh harus diawali dengan tangga pertama?

Kelima, tolaklah saran negatif. Bisa jadi, tidak semua orang di sekitar kita memberikan dorongan, dukungan, dan bersikap positif pada kita. Sebagian dari orang yang ada di sekitar kita mungkin berpikiran negatif. Hal inilah yang tak jarang malah melunturkan rasa percaya diri kita dengan mempertanyakan kemampuan, pengalaman, dan aspirasi-aspirasi kita.

Dengan demikian, mungkin ada baiknya jika kita sedikit mengambil jarak dengan sebijak mungkin bila ada pihak-pihak yang mencoba melunturkan kepercayaan diri kita. Keenam, ikuti saran positif. Rasa percaya diri merupakan sifat "menular". Artinya, jika kita dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki cara pandang positif, bersemangat, optimis, dsb, maka kita memiliki kecenderungan untuk meniru sifat tersebut.

Karena itu, carilah lingkungan yang bisa memotivasi kita untuk sukses. Kita harus mulai senang bergaul dengan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk bangkit. Bergaul dengan orang-orang yang percaya diri akan berbeda dibandingkan bergaul dengan orang-orang yang gagal. Sebab bergaul dengan orang-orang yang percaya diri, Insya Allah semangatnya akan menular kepada diri kita.

Ketujuh, jadikan keresahan sebagai kawan. Banyak peristiwa atau saat-saat dalam kehidupan yang dapat membuat kita mengalami rasa cemas atau gelisah. Akibatnya, kita mengalami krisis percaya diri. Saat itulah kita harus mulai mengingatkan diri sendiri bahwa rasa cemas dan gelisah merupakan kawan. Tingkatkan energi, tajamkan kecerdasan, tinggikan kewaspadaan, dan kembangkan pancaindera. Daripada menyia-nyiakan energi untuk kecemasan yang sia-sia, lebih baik menghadapi tantangan itu secara tegas dan efektif.

Sesudah perhitungan kita matang, selanjutnya kepercayaan diri akan bertambah dengan memperkokoh ibadah dan doa, karena doa dan ibadah dapat mengundang pertolongan Allah. Semakin kokoh ibadah kita, shalat kita, makin kuat doa-doa kita, dan keyakinan kita dengan pertolongan Allah, maka itu bisa meningkatkan percaya diri.

Kita harus benar-benar menyadari bahwa Allah menciptakan kita benar-benar dengan perhitungan dan pertimbangan Yang Mahacermat. Seperti di firmankan Allah SWT dalam Quran surat at-Tiin ayat 4, "La qad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim" (Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya). Wallahu a`lam.n deny riana/mqp

Sumber : http://www.republika.co.id/

6/03/2009

Tanda-Tanda kiamat

Tanda-Tanda kiamat

* Keluar sejenis binatang dari perut bumi yang digelar Dabbatul Ardhi.
* Lahirnya Dajjal.
* Keluar asap tebal.
* Turunnya Nabi Isa a.s.
* Kemunculan Imam Mahdi.
* Matahari terbit dari ufuk barat.
* Keluarnya suku Ya'juj dan Ma'juj.
* Diangkat Al-Quran dan perkara-perkara yang baik
* Runtuhnya Ka'abah
* Terdengar tiupan sangkakala pertama.
* Ada azan tak di jawab
* 3 kali gempa bumi, sekali di timur, sekali di barat, dan yang ketiga di Semenanjung Arab


Tanda-tanda kiamat

Telah dinyatakan bahawa tanda-tanda kiamat adalah petunjuk atau isyarat yang sudah hampirnya hari kiamat dan bakal menyusul pula tanda-tanda kiamat besar. Sebahagian ulama telah mengira tanda-tandanya dan menemui lebih 90 tanda walaupun berbeza menurut para penghitungnya.

Didapati kini bahawa seluruh tanda-tanda kecil telah muncul dan terbukti seperti yang dinyatakan dalam hadis iaitu sabda Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Kebanyakan hadis-hadis ini dapat ditemukan di dalam Sahih Muslim, Sahih Bukhari dan Riwayat Tarmizi.

[sunting] Tanda-tanda menurut dalil

* Penaklukan Baitulmuqaddis

“ Dari Auf b. Malik r.a., katanya, "Rasulullah s. a. w. telah bersabda:"Aku menghitung enam perkara menjelang hari kiamat." Baginda menyebutkan salah satu di antaranya, iaitu penaklukan Baitulmuqaddis." - Sahih Bukhari[1] ”

* Zina bermaharajalela[perlu petikan]

“ "Dan tinggallah manusia-manusia yang buruk, yang seenaknya melakukan persetubuhan seperti himar (keldai). Maka pada zaman mereka inilah kiamat akan datang." - Sahih Muslim ”

* Pemimpin yang terdiri dari orang yang jahil dan fasik[perlu petikan]

* Bermaharajalela alat muzik[perlu petikan]

“ Pada akhir zaman akan terjadi tanah runtuh, rusuhan dan perubahan muka."Ada yang bertanya kepada Rasulullah; "Wahai Rasulullah bila hal ini terjadi?" Baginda menjawab; "Apabila telah bermaharajalela bunyi-bunyian (muzik) dan penyanyi-penyanyi wanita" - Ibnu Majah ”

* Menghias masjid dan membanggakannya[perlu petikan]

“ Di antara tanda-tanda telah dekatnya kiamat ialah manusia bermegah-megahan dalam mendirikan masjid" - Riwayat Nasai. ”

* Munculnya kekejian, memutuskan kerabat dan hubungan dengan tetangga tidak baik[perlu petikan]

“ Tidak akan datang kiamat sehingga banyak perbuatan dan perkataan keji, memutuskan hubungan silaturahim dan sikap yang buruk dalam tetangga." - Riwayat Ahmad dan Hakim ”

* Ramai orang menuntut ilmu kerana pangkat dan kedudukan[perlu petikan]

* Ramai orang soleh meninggal dunia[perlu petikan]

“ Tidak akan datang hari kiamat sehingga Allah mengambil orang-orang yang baik dan ahli agama dimuka bumi, maka tiada yang tinggal padanya kecuali orang-orang yang hina dan buruk yang tidak mengetahui yang makruf dan tidak mengingkari kemungkaran - Riwayat Ahmad ”

* Orang hina mendapat kedudukan terhormat[perlu petikan]

“ Di antara tanda-tanda semakin dekatnya kiamat ialah dunia akan dikuasai oleh Luka' bin Luka'(orang yang bodoh dan hina). Maka orang yang paling baik ketika itu ialah orang yang beriman yang diapit oleh dua orang mulia" - Riwayat Thabrani ”

* Mengucapkan salam kepada orang yang dikenalnya sahaja[perlu petikan]

“ "Sesungguhnya di antara tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat ialah manusia tidak mahu mengucapkan salam kepada orang lain kecuali yang dikenalnya saja." - Riwayat Ahmad ”

* Banyak wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya telanjang [perlu petikan]

“ Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.
"Di antara tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat ialah akan muncul pakaian-pakaian wanita dan apabila mereka memakainya keadaannya seperti telanjang." ”

* Bulan sabit kelihatan besar[perlu petikan]

“ Di antara tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat ialah menggelembung (membesarnya) bulan sabit." - Riwayat Thabrani ”

* Banyak dusta dan tidak tepat dalam menyampaikan berita

“ Pada akhir zaman akan muncul pembohong-pembohong besar yang datang kepadamu dengan membawa berita-berita yang belum pernah kamu dengar dan belum pernah didengar oleh bapa-bapa kamu sebelumnya, kerana itu jauhkanlah dirimu dari mereka agar mereka tidak menyesatkanmu dan memfitnahmu" - Sahih Muslim ”

* Banyak saksi palsu dan menyimpan kesaksian yang benar

“ Sesungguhnya sebelum datangnya hari kiamat akan banyak kesaksian palsu dan disembunyikan kesaksian yang benar" - Riwayat Ahmad ”

* Negara Arab menjadi padang rumput dan sungai

“ Tidak akan datang hari kiamat sehingga negeri Arab kembali menjadi padang rumput dan sungai-sungai." - Sahih Muslim ”

* Banyaknya sifat bohong dan ia menjadi perkata biasa[perlu petikan]

* Jarak-jarak antara pasar menjadi dekat (menunjukkan banyaknya kegiatan perdagangan)[perlu petikan]

“ Banyaknya sifat bohong, pendeknya waktu, dekatnya jarak-jarak antara pasar-pasar." - Riwayat Bukhari ”

* Manusia mewarnai rambut di kepalanya dengan warna hitam supaya kelihatan muda[perlu petikan]

“ Pada akhir zaman akan muncul suatu kaum yang mencelupi rambut mereka dengan warna hitam seperti 'bulu merpati' yang mereka itu tidak akan mencium bau syurga." - Sahih Abu Daud & Nasai ”

* Kekayaan umum dikuasai segelintir orang tanpa kebenaran dan tanpa rasa takut, termasuk rasuah dan mengambil harta secara tersembunyi.

-hadis bawah-

* Akan terdapat banya pengkritik, pembawa-cerita, penikam-belakang dan pengejek dalam masyarakat.

-hadis bawah-

* Orang akan mendirikan hubungan dengan orang tak dikenali dan memutuskan hubungan dengan yang rapat dan disayangi.

-hadis bawah-

* Orang akan melakukan homoseksual.

-hadis bawah-

* Akan terdapat ramai anak luar nikah.

- Abdullah Ibn Mas'ood (R.A.)

* Berkurangnya sifat amanah

-hadis bawah-

* Terasa berat untuk menjalankan syariah (zakat dijadikan hutang)

-hadis bawah-

* Lelaki mentaati isterinya tetapi menderhakai ibunya

-hadis bawah-

* Lelaki berkasar dengan bapanya tetapi beramah dengan rakannya

-hadis bawah-

* Suara manusia meninggi (menjerit dan berteriak) di masjid-masjid

-hadis bawah-

* Pemimpin suatu kaum adalah keji dan pemimpin suatu suku adalah fasik

-hadis bawah-

* Lelaki dihormati bukan kerana budi dan kebaikan tetapi kerana takut akan kejahatannya

“ Dari Ali dan Abu Hurairah r.a.: "Apabila harta rampasan perang (milik umum) dikuasai segelintir orang sahaja, barang amanah menjadi rampasan, harta zakat menjadi hutang, seorang lelaki mentaati isterinya dan menderhakai ibunya, berbuat baik kepada temannya dan berbuat kasar kepada bapanya, suara-suara tinggi di masjid-masjid, yang menjadi pemimpin suatu kaum (bangsa) adalah orang yang hina (berkelakuan/bersifat keji) di antara mereka dan orang yang menjadi ketua suatu suku (kabilah) adalah orang fasik di antara mereka, seorang lelaki dihormati kerana takut jahatnya, arak biasa diminum, sutera biasa dipakai (oleh lelaki), munculnya penyanyi perempuan dan alat-alat muzik, orang yang di kalangan umat terkemudian akan melaknat (mengutuk) umat terdahulu, maka ketika itu hendaklah mereka menunggu kedatangan angin merah atau pembalikan bumi atau keburukan bentuk-bentuk atau tanda-tanda yang beriringan seperti tali yang putus maka jatuhlah biji secara berterusan". - Riwayat Tarmizi ”

[perlu petikan]

* Anggota polis semakin ramai yang menunjukkan semakin banyak kerosakan

-hadis bawah-

* Mendahulukan lelaki menjadi imam bukan kerana ilmu tetapi kerana suara...

-hadis bawah-

* Penjualan jawatan atau kepemimpinan (politik wang)

-hadis bawah-

* Memandang rendah kepada darah

“ Rasulullah bersabda: "Bersegeralah untuk melakukan amal soleh apabila telah muncul enam perkara: perlantikan pemimpin yang boodoh, ramainya bilangan anggota polis, penjualan kepemimpinan, tiada penghargaan terhadap darah, pemutusan silaturrahim, orang mabuk menjadikan al-Quran sebagai alat nyanyi yang mereka mendahulukan seseorang antara mereka menjadi imam agar dapat menyanyikannya walaupun orang tersebut paling sedikit ilmunya." - Sahih Riwayat Tabrani & Ahmad ”

[perlu petikan]

* Seorang isteri bekerja dalam satu syarikat dengan suaminya. (Malah isteri berpangkat lebih besar)

“ Dari riwayat Ibnu Masud: "Di pintu gerbang (dekatnya) hari kiamat: Salam hanya kepada orang yang khusus (sudah dikenalinya), tersebar dan berkembangnya perdagangan sehingga seorang isteri membantu suaminya berdagang" - Sahih Lighairihi Riwayat Ahmad ”

[perlu petikan]

* Munculnya gaya hidup mewah dan manja di kalangan umat Islam

“ Apabila umatku berjalan dengan sombong dan yang melayan mereka adalah putera-puteri raja, putera-puteri Parsi dan Rom, maka orang yang paling buruk akan berkuasa terhadap orang yang paling baik (pilihannya)." - Riwayat Tarmizi, Sahih Abdullah ibnu Umar r.a. ”

[perlu petikan]

* Orang fasik dimuliakan sedangkan orang mulia dan terhormat direndahkan

“ Sungguh hebat dia, sunggu jarang orang seperti dia dan sungguh pintar dia sedangkan di dalamnya tidak ada iman sedikitpun" - Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Tarmizi, Ibnu Majah ”

[perlu petikan]

* Banyak orang berharap untuk mati kerana banyaknya kekacauan ataupun kesengsaraan

“ "Tidak akan berlaku kiamat sehingga apabila seorang lelaki melalui sebuah kubur maka ia akan berkata: 'Aduhai seandainya aku juga berada ditempatnya.'" - Riwayat Bukhari[2] dan Muslim ”

* Banyaknya berlaku gempa bumi[2]

* Banyaknya berlaku huru-hara yang menyebarkan kejahatan[2]

* Banyaknya berlaku pergaduhan dan pembunuhan[2]

“ "Kiamat tidak akan berlaku kecuali apabila ilmu telah diangkat, banyaknya berlaku gempa bumi, timbulnya huru-hara dan banyak pergaduhan iaitu pembunuhan - Sahih Bukhari[2] ”

* Munculnya mati mendadak atau mati secara tiba-tiba

-hadis bawah-

* Masjid dijadikan jalan iaitu seseorang muslim melalui masjid tanpa melakukan solat

“ Masjid dijadikan sebagai jalan-jalan dan timbulnya mati mendadak" - Hasan At-Tayalisy. ”

Rujukan

1. ↑ bin Abdul Lateef Az-Zubaidi, Al-Imam Zain-ud-Din Ahmad; Dr. Muhammad Muhsin Khan (1996). bab: “104”, The translation of the Meanings of Summarized Sahih Al-Bukhari (dalam bahasa Bahasa Arab dan Bahasa Inggeris), 638, Riyadh, Arab Saudi: Darussalam. "Narrated 'Auf bin Malik R.A."I went to the Prophet S.A.W. during the Ghazwa of Tabuk while he was sitting in a leather tent. He said, "Count six signs that indicate the apporach of the Hour: my death, the conquest of Jerusalem, a plague that will afflict you (and kill you in great numbers) as the plague that afflicts sheep, the increase of wealth to such an extent that even if one is given one hundred Dinars, he will not be satisfied; then an affliction which no Arab house will escape, and then a truce between you and Bani Al-Asfar (i.e. the Byzantines) who will betray you and attack you under eighty flags: Under each flag will be twelve thousand soldiers."
2. ↑ 2.0 2.1 2.2 2.3 2.4 bin Abdul Lateef Az-Zubaidi, Al-Imam Zain-ud-Din Ahmad; Dr. Muhammad Muhsin Khan (1996). bab: “10”, The translation of the Meanings of Summarized Sahih Al-Bukhari (dalam bahasa Bahasa Arab dan Bahasa Inggeris), 1022, Riyadh, Arab Saudi: Darussalam. "Narrated (Abu Huraira)" Allah's Messenger SAW said, "the Hour will not be establish till:(1) two big groups fight each other..(2) about thirty dajjal appear (liars).. (3) the religious knowledge is taken away... (4) earthquakes will increase in number (5) time will pass quickly (6) al-Fitan (trials and afflictions etc.) will appear, (7) al-Harj, (i.e., killing) will increase, (8) wealth will be abundance... (9) the people compete with one another in constructing high buildings, (10) a man passing by a grave of someone will say, "Would that I were in his place" (11) ... the sun rises from the west..."

5/31/2009

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ

Hadits tentang Niat

Penjelasan
24 April 2007 | Dilihat 129 kali

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu)

Pada edisi perdana ini, sengaja kami mengangkat syarh hadits ‘Umar bin Khoththob yang masyhur tentang niat ini ke hadapan para pembaca dalam rangka mencontoh beberapa ulama salaf yang memulai karangan mereka dengan membawakan hadits ini. Berkata Imam ‘Abdurrahman bin Mahdy sebagaimana dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah hal. 10 : “Sepantasnya bagi setiap orang yang mengarang suatu karangan untuk membukanya dengan hadits ini sebagai peringatan kepada para penuntut ilmu untuk memperbaiki niat”. Dan di antara para ulama yang membuka karangannya dengan hadits ini adalah Imam Al-Bukhary dalam Shohih Al-Bukhary, Imam ‘Abdul Ghony Al-Maqdasy dalam ‘Umdatul Ahkam dan Imam An-Nawawy dalam Riyadhush Sholihin dan dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah.

Takhrijul Hadits :

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim no. 3530 dan lain-lain dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshory dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimy dari ‘Alqomah bin Waqqosh Al-Laitsy dari ‘Umar ibnul Khoththob radhiallahu ‘anhu.

Dari konteks sanadnya kita bisa melihat bahwa hadits ini adalah hadits ahad atau lebih tepatnya ghorib karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini –secara shohih- dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali ‘Umar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Umar kecuali ‘Alqomah, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Yahya.

Komentar Para Ulama :

Berkata Imam Ibnu Rajab : ”Para ulama sepakat atas keshohihannya dan ummat telah bersepakat dalam menerimanya”.

Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata dalam Syarh Arbain An-Nawawi hal 9 : “Ini adalah hadits shohih yang disepakati akan keshohihannya dan akan besarnya kedudukan dan keagungannya serta banyaknya faedahnya”.

Berkata Abu Ubaid : ”Tidak ada satupun hadits Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam yang lebih luas, lebih mencukupi dan lebih banyak faedahnya dibandingkan hadits ini”.

Dan telah bersepakat para imam seperti Abdurrahman bin Mahdi, Asy-Sy afi’iy, Ahmad bin Hanbal, ‘Ali Ibnul Madini, Abu Dawud As-Sijistani, At-Tirmidzy, Ad-Daraquthny dan Hamzah Al-Kinani bahwa hadist ini adalah sepertiga ilmu.

Hal ini dikomentari oleh Imam Al-Baihaqi dengan perkataannya : ”Hal tersebut dikarenakan sesungguhnya amalan seorang hamba adalah dengan hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut”. Lihat Syarh Arbain hal 10.

Abdurrahman bin Mahdiy berkata : ”Hadits niat ini bisa masuk ke dalam 30 bab ilmu”. Sedangkan Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwa hadits ini bisa masuk ke dalam 70 bab fiqhi.

Sababul Wurud (Sebab Keluarnya) :

Berkata An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81) : “Sesungguhnya telah datang bahwa sebab keluarnya hadits ini adalah tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois maka diapun dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang berhijrah karena Ummu Qois)”.

Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :

مَنْ هَاجَرَ يَبْتَغِي شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَلِكَ, هَاجَرَ رَجُلٌُ لِيَتَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ, فَكَانَ يُقَالُ مُهَاجِرُ أُمُّ قَيْسٍ

”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois”. (HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al (16/126) dan Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata : ”Sanadnya shohih”. Dan Al Hafizh berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim”).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fataw a (22/218) : “…, karena sesungguhnya sebab keluarnya hadits ini adalah bahwa seorang lelaki berhijrah dari Mekkah ke Medinah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois, maka Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam berkhutbah di atas mimbar dan menyebutkan hadits ini”.

Adapun Al-Hafidz Ibnu Hajar, maka beliau berkata dalam Fathul Bary (1/10) : ”Akan tetapi tidak ada di dalamnya (yakni hadits Ibnu Mas’ud di atas) yang menunjukkan bahwa hadist Al A’mal (hadits ‘Umar) diucapkan (oleh Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam) dengan sebab hal tersebut, dan saya tidak melihat sedikitpun pada jalan-jalan hadits tersebut (hadits Ibnu Mas’ud) ada yang tegas menunjukkan tentang hal tersebut”.

Berkata Ibnu Rajab : “Dan telah masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah sebab sabda Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam (“barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi”) dan hal ini disebutkan oleh kebanyakan al-muta`akhkhirun (para ulama belakangan) dalam karangan-karangan mereka. Akan tetapi saya tidak melihat hal itu ada asalnya dengan sanad yang shohih, wallahu a’lam”. Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75)

Dan hal ini lebih diperjelas dengan perkataan Imam Al-‘Iraqy dalam Thorhut Tatsrib (2/25-26) : “Tidak ada seorangpun dari penyusun kitab tentang shahabat –sepanjang apa yang saya lihat dari kitab-kitab itu- yang menyebutkan lelaki yang mereka katakan bernama Muhajir Ummu Qois ini. Adapun Ummu Qois yang disebutkan, maka Abul Khoththob bin Dihyah menyebutkan bahwa namanya adalah Qilah”.

Sebagai kesimpulan bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah kuat dan shohih, hanya saja kalau dikatakan bahwa kisah ini adalah sebab keluarnya hadits tentang niat ini maka ini adalah perkara yang tidak diterima karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan akan hal tersebut, wallahu a’lam.

Kosa Kata Hadits :

* Kata innam a(hanyalah) menunjukkan makna pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan hukum untuk yang tersebutkan dan peniadaan hukum tersebut dari selainnya. Lihat Syarh An-Nawawy (13/54) dan Al-‘Il am karya Ibnu Mulaqqin (1/168).
* kata al-a’mal (setiap amalan). Yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah).

Berkata Al-Hafidz dalam Al-Fath (1/13) yang maknanya : “Dan yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang dilakukan oleh mukallaf (yang terkena beban syari’at). Dibangun di atas hal ini, apakah amalan orang kafir tidak termasuk dalam hadits ini?, yang nampak bahwa amalan mereka tidak termasuk karena amalan-amalan yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan ibadah dan ibadah tidak syah dari seorang yang kafir walaupun mereka dituntut untuk mengerjakannya dan disiksa karena meninggalkannya”.

Dan Al-Hafidz Al-‘Iraqy menyebutkan bahwa amalan di sini mencakup semua amalan anggota tubuh termasuk ucapan, karena ucapan adalah amalan lidah dan lidah termasuk dari anggota tubuh.

* Kata an-niyat (niat-niat). Niat secara bahasa adalah maksud dan kehendak.

Adapun secara istilah, niat adalah memaksudkan sesuatu dengan disertai pengamalan sesuatu tersebut. Lihat Al-Fatawa(18/251) dan (22/218) dan Hasyiyah Ar-Roudhul Murbi’ (1/189)

* Hijroh secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya. Adapun secara istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena takut fitnah dan untuk menegakkan agama.

Syaikh Ibnu Utsaimin membagi hijrah menjadi tiga jenis :

* Hijrah tempat, yaitu seseorang berpindah dari suatu tempat yang banyak maksiat, kefasikan, dan mungkin dari negara kafir kepada negara yang tidak dijumpai hal-hal tersebut.
* Hijrah amalan, yaitu seseorang meninggalkan suatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang dari berbagai jenis kemaksiatan dan kefasikan.
* Hijrah pelaku, yaitu seseorang menjauhi orang yang terang-terangan berbuat maksiat dengan syarat akan timbul maslahat yang besar ketika dia menjauhi orang tersebut.

Lihat Syarh Riyadhus Sholihin (1/15).

Syarh (Penjelasan) :

Pembahasan tentang hadits ini dari beberapa sisi :

* Hadits ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “Al-Umuru bimaqoshidiha” (Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya :

اَلنِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ الْعَمَلِ فِيْهَا الصَّلاَحُ وَالْفَسَادُ لِلْعَمَلِ

“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”.

Hal ini nampak jelas dari perkataan para ulama dalam menafsirkan hadits ini :

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “… dan ada kemungkinan taqdir (makna secara sempurna) dari sabda beliau “setiap amalan tergantung dengan niat-niatnya” adalah bahwa setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya, berpahala atau tidak berpahala- ditentukan oleh niat-niatnya, sehingga hadits ini menerangkan tentang hukum suatu amalan secara syar’iy”. Lihat Fathul Bary (1/13)

Dan semakna dengannya perkataan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh dalam syarh beliau terhadap hadits ini : “Sesungguhnya setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya- hanyalah dengan sebab niatnya”.

* Sabda beliau “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan” memberikan tambahan makna yang tidak ditunjukkan oleh potongan hadits sebelumnya. Berkata Ibnu Daqiqil ‘ Ied rahimahullah dalam Ihkamul Ahkam (1/10) : “(Lafadz ini) mengharuskan bahwa barangsiapa yang meniatkan sesuatu maka itu yang dia dapatkan dan semua yang dia tidak niatkan maka dia tidak akan mendapatkannya”.

Faedah didatangkannya kalimat “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan” setelah kalimat “sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya” dari beberapa sisi :

o Penjelasan bahwa menentukan apa yang dia niatkan juga adalah syarat syahnya suatu amalan. Misalnya jika seseorang masuk ke dalam mesjid setelah adzan Zhuhur lalu sholat 2 raka’at, maka tidak cukup baginya hanya berniat untuk sholat dua raka’at akan tetapi harus dia menentukan niatnya, yaitu apakah dua raka’at ini adalah sholat tahiyatul masjid atau sholat sunnah rawathib atau sekedar sholat sunnah mutlak. Hal ini dikatakan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81)
o Di dalamnya terdapat dalil bahwa semua amalan yang bukan ibadah terkadang bisa mendapatkan pahala bila orang yang mengamalkannya meniatkan dengannya ibadah. Misalnya memberikan nafkah kepada keluarga –yang asalnya adalah bukan amalan ibadah- dengan niat menjalankan kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan kepadanya terhadap keluarganya, maka perbuatannya ini akan diberikan pahala sebagaimana dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqq ash dari Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam bahwa beliau bersabda kepadanya :

وَإِنَّك لَنْ تَنْفَقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِيْ فِي امْرَأَتِكَ

“… dan tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang kamu harapkan dengannya wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala atasnya termasuk apa yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu”. (HSR. Bukhary-Muslim)

o Sesungguhnya setiap amalan yang zhohirnya adalah ibadah akan tetapi bila dilakukan dengan niat sekedar adat kebiasaan maka amalannya tidak akan mendapatkan pahala sama sekali sampai dia niatkan dengannya ibadah, walaupun amalannya dianggap syah. Lihat Thohut Tatsrib (2/10).
o Berkata Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulum (1/65) : “Bukanlah kalimat (yang kedua) ini sekedar pengulangan dari kalimat yang pertama, karena kalimat yang pertama menunjukkan bahwa syahnya amalan atau rusaknya sesuai dengan niat yang mengharuskan terjadinya amalan tersebut. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa pahala orang yang beramal atas amalannya sesuai dengan niatnya yang baik dan bahwa siksaan atasnya (dia peroleh) sesuai dengan niatnya yang rusak. Dan terkadang niatnya adalah niat yang mubah sehingga amalannya dianggap amalan mubah yang tidak menghasilkan pahala atau siksaan”.
* Sabda beliau “maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya” adalah kalimat syarat sedangkan “maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya” adalah kalimat jawaban dari syarat. Kaidah dalam ilmu bahasa Arab bahwa kalimat syarat harus berbeda dengan kalimat jawaban dari syarat, sedangkan dalam hadits ini kalimat syarat dan jawabannya memiliki lafadz yang sama. Maka dalam hal ini para ulama memberikan tiga jawaban :
o Bahwa perbedaan antara kalimat syarat dengan jawabannya bisa dari sisi lafadz –dan ini kebanyakannya- dan bisa pula dari sisi makna –sebagaimana dalam hadits ini-, dan ini bisa dipahami dari konteks hadits.
o Samanya lafadz antara kalimat syarat dan jawabannya berfungsi untuk menunjukkan makna melebih-lebihkan atau memperbesar-besar perkara, apakah dalam rangka pengagungan terhadap suatu amalan –sebagaimana dalam hadits ini- atau sebaliknya dalam rangka menghinakan suatu amalan. Kedua jawaban ini disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (1/16)
o Ada kata yang terbuang yang dengannya akan nampak perbedaan antara kalimat syarat dengan jawabannya, sengaja dihilangkan karena sudah jelas maknanya. Taqdir (makna secara sempurna) dari kalimat ini adalah : “Maka barangsiapa yang niat dan maksud hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka pahala dan ganjaran hijrahnya kepada Allah dan RasulNya”. Ini adalah jawaban dari Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah dalam Syarhul Arba’in hal. 12.
* Sabda beliau Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam “barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya” di dalamnya terdapat dua faedah :
o Dalam kalimat ini Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam hanya menyebutkan kalimat jawaban syarat dengan sabdanya “maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya” dan tidak mengulangi lafadznya sebagaimana ketika beliau menyebutkan tentang hijrah karena Allah dan RasulNya. Hal ini menunjukkan akan rendah dan hinanya apa yang dia niatkan dengan hijrahnya sekaligus menunjukkan rendah dan hinanya dunia dan wanita bila keduanya dijadikan sebagai niat dalam beribadah.
o Fitnah-fitnah dalam beragama sangatlah banyak, pemberian contoh dalam hadits dengan fitnah dunia dan fitnah wanita menunjukkan besarnya kedua fitnah ini dibandingkan fitnah-fitnah lainnya dan lebih terkhusus lagi fitnah wanita karena disebutkan secara sendiri –padahal wanita termasuk dari dunia- menunjukkan fitnah wanita lebih besar daripada fitnah dunia.

Berikut beberapa hadits dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang menunjukkan besarnya kedua fitnah ini serta wajibnya seorang muslim untuk menghindar dari kedua fitnah ini :

* Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu :

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ

“Mayat diikuti (ke kuburan) oleh tiga (perkara), akan kembali dua dan akan tinggal (bersamanya) satu. Dia diikuti oleh keluarganya, hartanya dan amalannya, maka akan kembali keluarga dan hartanya sedang yang tinggal adalah amalannya”. (HSR. Bukhary-Muslim)

* Hadits Miswar bin Makhromah radhiallahu ‘anhu :

فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

“Maka demi Allah, bukan kemiskinan yang saya takutkan atas kalian, akan tetapi yang saya takut atas kalian adalah dilapangkannya dunia kepada kalian sebagaimana telah dilapangkan kepada orang-orang sebelum kalian kemudian kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka telah berlomba-lomba, lalu dunia tersebut menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka”. (HSR. Bukhary-Muslim)

* Hadits Ka’ab bin ‘Iyadh radhiallahu ‘anhu :

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya setiap ummat mempunyai fitnah dan fitnahnya ummatku adalah harta”. (HR. At-Tirmidzy)

* Hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu :

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ

“Saya tidaklah meninggalkan setelahku suatu fitnah kepada manusia yang lebih berbahaya bagi para lelaki daripada para wanita”. (HSR. Bukhary-Muslim)

* Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu :

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita, maka ada seorang lelaki dari Anshor yang berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar?, beliau menjawab : Ipar adalah kematian”. (HSR. Bukhary-Muslim)

* Perkara yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu bahwa sekedar niat yang baik dalam beramal sama sekali tidaklah cukup sebagai sebab diterimanya amalan tersebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi –sebagaimana yang dimaklumi- bahwa suatu amalan –bagaimanapun besar dan hebatnya- tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari siapapun juga kecuali setelah terpenuhinya dua syarat :
o Hendaknya amalan tersebut dikerjakan semata-mata karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala, sebagaimana yang terkandung dalam hadits ‘Umar ini.
o Hendaknya amalan tersebut secara zhohirnya sesuai dengan sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam, makna ini yang terkandung dalam hadits :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka amalan itu tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘ A`isyah radhiallahu ‘anha)

Dan penjelasan tentang dua syarat ini insya Allah akan kita bahas lebih meluas pada tempatnya.

Beberapa faedah yang terdapat dalam hadits ini :

* Bantahan terhadap Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka yang menolak pendalilan dengan hadits ahad dalam perkara ‘aqidah. Karena hadits ini adalah hadits Ghorib sebagaimana telah berlalu akan tetapi tidak ada seorangpun di kalangan para ulama yang menolak berdalilkan dengan hadits ini dalam masalah niat yang merupakan perkara penting dalam ‘aqidah.
* Bantahan atas Murji’ah yang berkata bahwa iman adalah dengan sekedar ucapan lisan walaupun tanpa keyakinan dalam hati. Hal ini terbantah dengan nash-nash yang jelas dan kesepakatan di kalangan para ulama bahwa sesungguhnya orang-orang munafik berada di dasar neraka yang paling bawah, padahal mereka mengucapkan kalimat tauhid.
* Tidak boleh beramal sebelum mengetahui hukumnya, karena mustahil seseorang bisa berniat dengan niat yang benar bila dia tidak memiliki ilmu tentang amalan tersebut.
* Wajibnya memberikan perhatian dan penjagaan terhadap amalan-amalan hati, juga wajib berhati-hati dari riya, sum’ah dan beramal untuk mendapatkan dunia.
* Hendaknya orang yang memberikan suatu kaidah memberikan perincian dan contoh pengamalan dari kaidah tersebut sehingga lebih mudah dipahami dan diamalkan. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam setelah beliau memberikan kaidah “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”, beliau merinci dan memberi contoh dengan sabdanya “maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya …” sampai akhir hadits.

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “Dua kalimat ini (yaitu “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”) adalah dua kaidah yang tidak ada satupun amalan yang keluar darinya, lalu beliau menyebutkan setelahnya satu contoh dari contoh-contoh amalan yang bentuknya satu tapi berbeda baik dan buruknya sesuai dengan niat-niatnya, dan beliau seakan-akan bersabda : “Dan seluruh amalan yang lain berjalan di atas contoh ini”.

* Bantahan terhadap sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits shohih disyaratkan minimal adalah hadits ‘aziz.

Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

{Lihat : Thorhut Tatsrib 2/20, Al-‘Ilam 1/207, Jami’ul ‘Ulum (1/72)dan Majmu’ul Fatawa (18/279-280)}

(Diringkas oleh Abu Mu’awiyah dari pelajaran Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah yang dibawakan oleh Ust. Dzulqarnain hafizhohullah)

Sumber : Jurnal Al-Atsariyyah Vol. 01/Th01/2006

====================================

Hadits Ahad adalah hadits yang belum mencapai derajat mut awatir. Sedangkan hadits mutaw atir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan sanad yang mustahil secara adat kebiasaan mereka sengaja berkumpul untuk membuat suatu kedustaan.

Hadits Ghorib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang.

Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dari dua orang.