Laman

5/12/2009

TANGISAN BILAL BIN RABAH

TANGISAN BILAL BIN RABAH -Radhiallaahu ‘Anhu, MUAZIN RASULULLAH -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam


Jika nama Abu Bakar disebut, Al-Faruq Umar bin al-Khaththab -Radhiallaahu ‘Anhu berkata, “Abu Bakar adalah tuan kami, dan dia membebaskan tuan kami.” Yakni Bilal. Orang yang disebut Umar sebagai “tuan kami” adalah benar-benar orang yang mulia dan mempunyai kedudukan yang agung.

Ia adalah mu’adzin Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Ia adalah hamba yang disiksa oleh tuannya dengan batu yang telah dipanaskan un-tuk memurtadkannya dari agamanya, tapi ia berkata, “Ahad, Ahad (Allah Yang Esa).”

Ia hidup sebagai hamba sahaya, hari-harinya berlalu tanpa beda dan buruk. Ia tidak punya hak pada hari ini, dan tidak punya harapan pada esok hari. Seringkali ia mendengar tuan-nya, Umayyah, berbicara bersama kawan-kawannya pada suatu waktu dan para anggota kabilah di waktu lain tentang Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, dengan pembicaraan yang meluapkan amarah dan ke-dengkian yang sangat.

Pada suatu hari Bilal bin Rabah mengetahui cahaya Allah, lalu ia pergi menemui Rasulullah a dan mengikrarkan keisla-mannya. Setelah itu ia menghadapi berbagai macam penyiksaan, tapi ia tetap tegar bagai gunung. Ia diletakkan dalam keadaan telanjang di atas bara api. Mereka membawanya keluar pada siang hari ke padang pasir, dan mencampakkannya di atas pasir-pasir yang panas dalam keadaan tak berbaju. Kemudian mereka membawa batu yang telah dipanaskan yang diangkut dari tem-patnya oleh sejumlah orang dan meletakkannya di atas tubuh dan dadanya. Siksa demi siksa berulang-ulang setiap hari, tapi ia tetap tegar. Hati sebagian penyiksanya menjadi lunak seraya berkata, “Sebutlah Lata dan Uzza dengan baik.” Mereka me-nyuruhnya supaya memohon kepadanya tapi Bilal menolak untuk mengucapkannya, dan sebagai gantinya ia mengucapkan senandung abadinya, “Ahad, Ahad“.

Abu Bakar ash-Shiddiq -Radhiallaahu ‘Anhu datang pada saat mereka menyiksanya, dan meneriaki mereka dengan ucapan, “Apakah kalian membunuh seseorang karena berucap, ‘Rabbku adalah Allah?’.” Abu Bakar meminta kepada mereka untuk menjualnya kepadanya. Umayyah memang berkeinginan untuk menjualnya. Akhirnya Abu Bakar rhu membelinya dengan harga yang berlipat ganda dari Umayyah. Setelah itu dia membebaskannya, dan Bilal mulai menjalani kehidupannya di tengah-tengah orang-orang mer-deka… para sahabat yang taat lagi berbakti. Ketika Abu Bakar memegang tangan Bilal untuk membawanya, maka Umayyah berkata kepadanya, “Ambillah! Demi Lata dan Uzza, seandainya kamu menolak kecuali membelinya dengan satu uqiyah, niscaya aku menjualnya kepadamu dengan harga itu.” Abu Bakar rhu menjawab, “Demi Allah, seandainya kamu menolak kecuali seharga seratus uqiyah, niscaya aku membayarnya.”

Setelah Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam hijrah ke Madinah, Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam me-nyariatkan adzan untuk shalat, dan pilihan jatuh pada Bilal sebagai mu’adzin pertama untuk shalat. Ini pilihan Rasulullah saw. Bilal pun melantunkan suaranya yang menyejukkan dan menggembirakan, yang memenuhi hati dengan iman, dan pendengaran dengan keindahan. Ia menyeru, “Allahu Akbar, Allahu Akbar” dan seterusnya. Ketika datang perang Badar, dan Allah menyampaikan urusannya, Umayyah keluar untuk berperang… Dan ia jatuh tersungkur dalam keadaan mati di tangan Bilal -Radhiallaahu ‘Anhu.

Pemimpin kekafiran mati tertusuk oleh pedang-pedang Islam sebagai balasan buat Bilal yang berteriak setelah terbunuh-nya, “Ahad, Ahad.” Hari-hari berlalu, Makkah ditaklukkan, dan Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam masuk Makkah dengan ditemani Bilal. Kebenaran telah datang, dan kebatilan telah sirna. Bilal mengikuti semua peperangan bersama Rasul -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan mengumandangkan adzan untuk shalat. Ia terus menjaga syiar agama yang agung ini. Sampai-sampai Rasul -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam menyifatinya sebagai “seorang pria ahli surga”. Dan Rasul -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam berpulang ke haribaan Allah dalam keadaan ridha lagi diridhai. Sepeninggal beliau, sahabatnya dan khalifahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq -Radhiallaahu ‘Anhu bangkit memimpin urusan kaum muslimin. Bilal pergi menemui ash-Shiddiq seraya berkata kepadanya, “Wahai Khalifah Rasulullah, aku mendengar Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda,


‘Amalan mukmin yang paling utama ialah berjihad di jalan Allah’.”*

Abu Bakar bertanya kepadanya, “Apakah yang engkau kehendaki, wahai Bilal?” Ia menjawab, “Aku ingin murabathah (siap siaga berperang) di jalan Allah hingga aku mati.” Abu Bakar bertanya, “Lantas siapa yang mengumandangkan adzan untuk kami?!”

Bilal berkata, sementara kedua matanya mengalirkan air mata, “Sesungguhnya aku tidak mengumandangkan adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam .” Abu Bakar berkata, “Tetaplah mengumandangkan adzan untuk kami, wahai Bilal.” Bilal berkata, “Jika engkau memerdekakan aku agar aku menjadi milikmu, lakukan apa yang engkau suka. Jika engkau memerdekakan aku karena Allah, biarkanlah aku berikut pembebasan yang kau berikan kepadaku.” Abu Bakar berkata, “Aku memerdekakanmu karena Allah, ya Bilal.”

Bilal kemudian melakukan perjalanan ke Syam yang di sana ia terus menjadi mujahid dan selalu siap sedia untuk berjihad. Konon, ia berkali-kali datang ke Madinah dari waktu ke waktu … tapi ia tidak mampu mengumandangkan adzan. Hal itu karena setiap kali hendak mengucapkan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah), kenangan-kenangan masa lalu menahan dirinya, lalu suaranya tersembunyi di kerongkongannya, dan sebagai gantinya air matanyalah yang meneriakkan kata-kata itu.**

Akhir adzan yang dikumandangkannya ialah pada saat Khalifah al-Faruq Umar bin al-Khaththab -Radhiallaahu ‘Anhu mengunjungi Syam. Kaum muslimin meminta Khalifah membawa Bilal agar mengumandangkan adzan untuk shalat mereka. Amirul Mu’minin memanggil Bilal, sementara waktu shalat telah tiba. Umar berharap kepadanya agar mengumandangkan adzan untuk shalat. Bilal pun naik dan mengumandangkan adzan… maka menangislah para sahabat yang pernah bersama Rasulullah saw ketika Bilal mengumandangkan adzan untuk beliau. Mereka menangis seakan-akan mereka tidak pernah menangis sebelumnya, selamanya.

Bilal meninggal di Syam dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah, sebagaimana yang dikehendakinya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikannya ridha kepadaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar