Rabi’ Ibnu Khutsaim
Rabi’ Ibnu Khutsaim adalah seorang dari Bani Mudharr (Quraisy), beliau adalah seorang yang selalu tenggelam dalam ibadah pada ALLAH SWT, sehingga orang-orang mengatakan: “Ia adalah orang yang dari sejak jari-jarinya masih merah sudah ahli ibadah.” Dari sejak kecil Rabi’ dibesarkan dalam ibadah kepada ALLAH SWT, ia seorang yang terjaga dari perbuatan maksiat. Ketika usia masih kanak-kanak ia sudah sedikit sekali tidur di waktu malam, ibunya sering memergokinya di tengah malam sedang shalat diam-diam sementara suara tangis di dalam dadanya bagaikan air yang sedang mendidih di dalam kuali.
Ketika ibunya bertanya kepadanya: “Mengapakah kamu tidak tidur?”
Jawabnya: “Bagaimana aku bisa tidur, sementara malam telah makin larut dan musuhku senantiasa mengintaiku.”
Kata ibunya: “Siapakah musuhmu itu anakku?” Jawab Rabi’: “Maut wahai ibu.”
Semakin remaja maka makin tambah-tambah taqwanya, sehingga setiap malam suara tangisnya makin memilukan, pagi dan siang haripun ia sering berlinangan air mata. Sampai-sampai ibunya menjadi bingung dan bertanya kepadanya:
“Anakku sayang, apakah kau pernah berbuat dosa besar?”
Jawab Rabi’: “Benar ibu, aku telah berbuat dosa yang sangat besar.”
Kata ibunya: “Inna liLLAHi… Dosa apakah itu?”
Jawab Rabi’: “Aku telah membunuh orang wahai ibu.”
Kata ibunya : “Ya RABB! Kalau begitu segeralah minta maaf dan kita mohonkan untuk bisa membayar diyat kepada keluarganya.”
Jawab Rabi’: “Wahai ibu, aku telah membunuh diriku sendiri dan aku membunuhnya dengan dosa-dosaku, itu sebabnya aku selalu menangis…”
Rabi’ Ibnu Khutsaim adalah murid tersayang dari sahabat Abdullah bin Mas’ud ra (salah seorang dari 7 orang ahli al-Qur’an dimasa Nabi SAW). Ketika pertama kali ia bertemu dengan Ibnu Mas’ud ra, maka Ibnu Mas’ud berkata:
“Aku melihat kamu sekali saja wahai anak, aku lihat wajahmu termasuk AL-MUKHBITIN (orang-orang yang sangat khusyu’ kepada ALLAH SWT).”
Suatu hari Mundzir ats Tsauri berkunjung ke rumah Hilal bin Isaaf (keduanya adalah tokoh tabi’in), lalu kata Hilal:
“Mari kita berkunjung ke rumah syaikh kita.
” Lalu mereka berdua datang ke rumah Rabi’ Ibnu Khutsaim.
Kata Hilal: “Jika engkau duduk bersamanya, maka sungguh ia akan menundukkan kepala menghormatimu dan tidak akan berbicara sebelum engkau mulai berbicara.”
Rabi’ adalah seorang yang sangat miskin, bukan karena tidak berusaha tapi karena ia selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri, sehingga bajunya penuh tambalan disana-sini. Suatu hari selesai bekerja dan mendapatkan upahnya, ia membeli makanan dan ketika akan dimakannya ia berkata dalam hati:
“Alangkah bahagianya jika aku berikan ini pada orang yang lebih membutuhkan…
” Maka diberikannya kepada orang yang lebih fakir darinya, ketika ia ditegur oleh sahabat-sahabatnya tentang hal itu, maka ia manjawab dengan membacakan QS Ali Imraan ayat 92 [1].
Pernah pada suatu hari ada orang yang memujinya akan ketaqwaannya, maka jawabnya: “Jangan tertipu dengan bentuk lahiriah seseorang, sebab manusia hanya bisa menilai lahiriahnya saja, dan ingatlah bahwa setiap kita akan dinilai amal kita, dan penilainya adalah Yang Maha Teliti dan yang paling teliti.”
Ia selalu berkata:
“Penyakit badan itu adalah obat bagi penyakit kenikmatan, istighfar adalah obat bagi penyakit dosa-dosa dan cara pengobatannya adalah kamu berhenti dari maksiat dan tidak mengulanginya.”
Banyak kata-kata mutiara yang diucapkannya, diantaranya: “MA QUTILA HUNA, FA KUTIBA WA QURI’A HUNAK…” (Apa-apa yang kamu ucapkan di sini/dunia, maka akan dituliskan dan dibacakan semuanya nanti/di akhirat…) Dalam waktu lain ia berkata: “Ingat bahwa maut itu ghaib, dan sesuatu yang ghaib dan lama tidak menampakkan diri, maka ia akan menimbulkan keraguan tentang keberadaannya, padahal ia akan datang dengan dahsyatnya pada kalian, bacalah oleh kalian jika kalian mau QS al-Fajr ayat 22 [2].”
Ketika itu lalu terdengarlah panggilan adzan, maka Rabi’ memungkas ucapannya dengan berkata: “HAYYA ‘ALA DA’IYALLAH… (Marilah pada penyeru-penyeru ALLAH…) Walaupun harus merangkak…”
Rabi’ paling takut jika membaca QS al-Jaatsiyyah ayat 22 [3].
Ayat itu selalu diingatnya, dan jika ia membaca ayat tersebut maka ia akan menangis terus sampai fajar, sehingga basah janggut dan gamisnya.
Suatu hari ia sebagaimana salafus-shalih yang lainnya berjalan-jalan untuk menyaksikan ayat-ayat ALLAH SWT (tafakkur-alam). Dan ia melihat seorang pandai besi yang sedang membakar kapur yang besar, maka ia teringat akan neraka sehingga ia berkata: INTAHAYNA YA RABB… INTAHAYNA… (Aku benar-benar akan berhenti wahai RABB…Aku benar-benar akan berhenti…)” Maksud Rabi’ adalah berhenti dari maksiat. Lalu ia jatuh pingsan… Dan beberapa waktu kemudian orang menemukannya telah wafat…
Selamat berpisah wahai orang yang sangat takut kepada ALLAH, Jannah ALLAH tempat kembali yang sesuai dengan ketaqwaanmu…
Catatan Kaki:
[1] “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran [3]: 92)
[2] “…dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. al-Fajr [89]: 22)
[3] “Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.” (QS. al-Jaatsiyyah [45]: 22)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar