12 Abad yang lalu Ibrahim bin Adham menjadi pelaku sejarah seorang anak manusia yang dengan kesucian niat meninggalkan sumbu politik, kekuasaan, dan kemewahan demi mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta Allah Swt
Ibrahim bin Adham seorang sufi yang hidup pada abad VIII M, pernah berpidato di hadapan jama"ah di Basrah, yang rata-rata mereka hampir putus asa dalam doa, lantaran sudah lama berdoa tetapi tidak terkabul. Kata Ibrahim bin Adham: “Doamu tidak dikabulkan Allah lantaran sepuluh perkara: 1. Kamu mengenal Allah, tetapi kamu tidak menunaikan hak- hak kepada-Nya. 2. Engkau membaca Al-Qur"an, tetapi engkau tidak mengamalkan isinya. 3. Engkau mengatakan menjadi musuh syetan, tetapi engkau mengikuti dan berteman dengan syetan. 4. Engkau mengatakan menjadi Umat Nabi Muhammad SAW, tetapi engkau tidak mengikuti jejaknya. 5. Engkau berkeinginan masuk surga, tetapi tidak mau beramal yang dapat menghantarkannya ke surga. 6. Engkau menginginkan selamat dari api neraka, tetapi engkau mencampakkan dirimu ke dalamnya. 7. Engkau mengatakan bahwa mati itu pasti, tetapi engkau tidak mau mempersiapkan bekal untuk mati. 8. Engkau sibuk meneliti cela kawan-kawanmu, tetapi engkau tidak mau memerhatikan cela dirimu sendiri. 9. Engkau makan ni"mat dari Tuhamu, tetapi engkau tidak pernah bersyukur kepadanya. 10. Engkau ikut mengubur orang mati, tetapi engkau tidak dapat mengambil I"tibar (pelajaran) dari peristiwa itu. Setelah mendengar nasehat yang sangat bijak tersebut orang- orang itupun tak kuasa menahan tangis atas dosa- dosa yang telah ia perbuat sehingga doanya tak mendapat jawaban dari Allah.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia.”
Ibrahim bin Adham merupakan ulama terbesar di jamannya dimana keharuman akhlak serta kezuhudannya masih dapat kita rasakan sampai detik ini. Jauh sebelum hidup dalam kezuhudan Ibrahim bin Adham ketika itu berada dalam puncak keemasan kariernya dimana sumbu kekuasaan politik dan ekonomi berada dalam genggamannya. Maklum Ibrahim bin Adham baru saja diangkat menjadi raja di Balkh satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan, menggantikan ayahnya yang baru mangkat.
Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim bin Adham juga bergelimang kemewahan.
Titik tolak kezuhudannya diawali dari suatu peristiwa yang sarat makna. Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur, tiba- tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri. Ibrahim menegur orang itu, “Apa yang tengah kamu lakukan di atas sana?” Orang itu menjawab, “Saya sedang mencari ontaku yang hilang.” “Apa kamu sudah gila, mencari onta di atas genteng,” sergahnya. Namun orang itu balik menyerang, “Tuan yang gila, karena tuan mencari Allah di istana.” Jawaban tersebut membuat Ibrahim tersentak, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Ia gelisah, kedua matanya tidak dapat terpejam, terus- menerus menerawang merenungi kebenaran kata- kata itu. Hingga adzan Shubuh berkumandang Ia tetap terjaga. Esok harinya, keadaannya tidak berubah. la gelisah, murung, dan sering menyendiri. la terus mencari jawaban di balik peristiwa malam itu.Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya akan berkurang. Akan tetapi, sepertinya masalah itu terlalu berat baginya, sehingga tanpa disadari kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya, ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Kalau saja ia tidak terjatuh bersama kudanya, mungkin ia tidak berhenti.
Ketika ia berusaha bangun, tiba- tiba seekor rusa melintas di depannya. Segera ia bangkit, menghela kudanya dengan cepat sambil mengarahkan tombaknya ke tubuh buruannya. Tetapi, saat dia hendak melemparkan tombaknya, ia mendengar bisikan keras seolah memanggil dirinya, “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu (berburu) kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Namun, Ibrahim terus berlari sambil melihat kiri kanan, tapi tak seorang pun di sana, lalu ia berucap, “Semoga Allah memberikan kutukan kepada Iblis!”
Dia pacu kembali kudanya. Namun, lagi-lagi teguran itu datang. Hingga tiga kali. la lalu berhenti dan berkata, “Apakah itu sebuah peringatan dari Mu? Telah datang kepadaku sebuah peringatan dari Allah, Tuhan semesta alam. Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari- hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada Nya” Setelah itu, ia menghampiri seorang penggembala kambing yang berada tidak jauh dari tempat itu. Lalu memintanya untuk menukar pakaiannya dengan pakaian yang ia pakai. Setelah mengenakan pakaian usang itu, ia berangkat menuju Makkah untuk mensucikan dirinya.
Dari sinilah drama kesendirian Ibrahim bermula. Istana megah ia tinggalkan, syahwat politik, dan kekuasaan ia tanggalkan, kebesaran dan manisnya harta benda ia campakkan, ia berjalan kaki menyongsong kehidupan barunya.
Berbulan- bulan mengembara, Ibrahim tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishafur. Di sana ia tinggal di sebuah gua, menyendiri, berdzikir dan memperbanyak lbadah. Hingga tidak lama kemudian aura keshalihan, kezuhudan dan kesufiannya mulai dikenal banyak orang. Banyak di antara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan kepadanya, tetapi Ibrahim selalu menolak.
Beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan Bandar Nishafur, dan dalam perjalanan selanjutnya menuju Makkah, hampir di setiap kota yang ia singgahi terdapat kisah menarik tentang dirinya yang dapat menjadi renungan bagi kita, terutama keikhlasan dan ketawadhuannya. Menjelang kedatangannya di Kota Makkah, para pemimpin dan ulama bersama- sama menunggunya. Namun tak seorangpun yang mengenali wajahnya. Ketika kafilah yang diikutinya memasuki gerbang Kota Makkah, seorang yang diutus menjemputnya bertanya kepada Ibrahim, “Apakah kamu mengenal Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang terkenal itu?” “Untuk apa kamu menanyakan si ahli bid"ah itu?” Ibrahim balik bertanya.
Mendapat jawaban yang tidak sopan seperti itu, orang tersebut lantas memukul Ibrahim, dan menyeretnya menghadap pemimpin Makkah. Saat diinterogasi, jawaban yang keluar dari mulutnya tetap sama, “Untuk apa kalian menanyakan si ahli bid"ah itu?” Ibrahim pun disiksa karena dia dianggap menghina seorang ulama agung. Tetapi, dalam hatinya Ibrahim bersyukur diperlakukan demikian, ia berkata, “Wahai Ibrahim, dulu waktu berkuasa kamu memperlakukan orang seperti ini. Sekarang, rasakanlah olehmu tangan-tangan penguasa ini.”
12 Abad yang lalu Ibrahim bin Adham menjadi pelaku sejarah seorang anak manusia yang dengan kesucian niat meninggalkan sumbu politik, kekuasaan, dan kemewahan demi mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta Allah Swt. Sejarah kemudian mencatat Ibrahim bin Adham ahirnya menjadi ulama akhirat yang fatwa- fatwanya senantiasa mencerahkan dan menjadi rujukan hingga sekarang. Tidak semua orang yang dalam posisi seperti Ibrahim bin Adham bisa membuat keputusan tepat, bahkan mungkin bisa jadi sebaliknya di zaman ini orang- orang yang biasa dalam kezuhudanpun bisa terpedaya karena syahwat politik dan keduniawian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar