Jika Allah menghendaki kehancuran suatu bangsa maka Dia menjadikan pemimpin pemimpin mereka orang-orang yang berakhlaq rendah, dijadikan-Nya orang-orang culas menangani hukum dan peradilan, dan asset bangsa di tangan orang-orang yang kikir
Orang-orang yang Harus Dicegah jadi Pemimpin
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Al-Israa: 16)
Dalam skenario Allah tersebut jelas digambarkan, yang pertama menjadi biang kehancuran adalah para petinggi, pembesar, dan elite negara. Ibarat ikan, yang pertama kali busuk adalah bagian kepalanya, disusul kemudian bagian perut, baru bagian-bagian lainnya. Mutraf dalam ayat ini bisa berarti para pejabat tinggi, mulai dari eksekutifnya, misalnya presiden dan wakilnya, menteri dan para pembantunya, serta para pejabat eselon, gubernur, bupati, dan seterusnya. Bisa juga anggota legislatif,
DPR, DPRD, DPD, dan MPR, juga ketua dan pengurus partai politik. Juga yudikatif, mulai dari para penyidik (polisi), jaksa, pengacara, dan hakim. Termasuk dalam kategori mutraf adalah para pengusaha nasional (konglomerat), pejabat militer, politisi, para pakar dan akademisi.
Intinya adalah mereka yang melalui kewenangan, kekuasaan, dan pengaruhnya ikut memberi warna dan menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila mereka baik, maka baiklah negeri yang dipimpinnya. Jika mereka rusak, maka hancurlah bangsa dan negaranya.
Dalam pandangan al-Quran, kehancuran sebuah bangsa tidak hanya diukur dari ambruknya tatanan ekonomi dan politiknya semata, tapi ukuran pertamanya adalah ambruknya tatanan iman, taqwa, dan akhlaq mulia.
Jika para mutraf-nya sudah mulai meninggalkan komitmen terhadap nilai-nilai ilahiyah, mulai memarginalkan syariat-Nya, maka tunggulah kehancuran bangsa ini. Senada dengan skenario al-Quran, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga mempunyai skenario kehancuran suatu bangsa sebagai berikut:
"Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu bangsa maka dijadikanlah pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka memegang hukum dan peradilan, juga Allah jadikan harta kekayaan (asset bangsa) di tangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki kehancuran suatu bangsa maka Dia menjadikan pemimpin pemimpin mereka orang-orang yang berakhlaq rendah, dijadikan-Nya orang-orang culas menangani hukum dan peradilan, dan asset bangsa di tangan orang-orang yang kikir." (HR Ad-Dailami)
Dalam kaitannya dengan ayat Quran dan hadits di atas, maka memilih pemimpin merupakan kunci pokok penyelamatan negeri ini. Jika ummat Islam salah dalam memilih pemimpinnya, maka kesalahan itu harus dibayar mahal dengan hancurnya bangsa dan negara.
Tidak tanggung-tanggung, pemimpin yang salah dipilih ini bisa berbuat nekat. Mereka tidak saja punya hobi menjual asset dan kekayaan negara kepada pihak asing, tapi mereka juga tega menjual rakyatnya sendiri. Tak segan-segan mereka memperdagangkan rakyatnya untuk melanggengkan kekuasaan, atau demi untuk menyenangkan pihak-pihak lain yang menjadi big-bossnya.
Mewaspadai terjadinya peristiwa itu, Rasulullah Saw bersabda: "Khianat yang paling besar adalah jika seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya." (HR Ath-Thabrani)
Dalam konteks sekarang, memperdagangkan rakyat itu bisa jadi berupa penangkapan terhadap para aktivis Islam yang oleh kekuatan Barat dianggap sebagai musuh yang harus diberangus dan dihabisi. Dalam kasus ini para aktivis adalah rakyat yang diperjualbelikan, sedang imbalannya adalah dukungan politik dan keuangan.
Penjualnya adalah penguasa, sedang pembelinya adalah pihak-pihak asing yang tidak senang terhadap Islam dan ummatnya. "Penguasa" dalam tanda kutip tersebut bisa jadi beragama Islam, bahkan boleh jadi kelihatan sangat taat pada beberapa bagian ajaran dan ketentuan Islam. Akan tetapi pandangan dan sikap perilakunya, visi dan wawasan ke depannya jika diteliti secara cermat, bertolak belakang dengan Islam.
Mereka adalah para pemimpim sekuler, yang memandang agama tidak lebih dari urusan pribadi orang perorang. Ruang lingkup agama, dalam pandangan mereka adalah masjid, mushalla, dan tempat-tempat pengajian. Di luar itu, tiada ruang untuk agama. Mereka mengisolasi agama sebagai urusan pribadi, dan ruangnya tidak boleh meluas hingga melampaui batas privasi.
Ruang publik, termasuk Negara tidak boleh dicampuri agama. Negara harus steril dari ciri, simbol, dan atribut agama. Tidak jarang, untuk menguatkan pandangannya yang sekularistik diatas, mereka menukil ayat dan hadist. Mereka sangat licik memilih ayat dan hadist untuk menguatkan pandangannya.
Tentang hal ini Allah sudah mengingatkan kaum Muslimin:
"Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertaqwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahannam itu tempat tinggal seburuk-buruknya." (Al-Baqarah: 204 - 206)
Kaum Muslimin hendaknya waspada dan berusaha keras mencegah munculnya pemimpin sekuler. Yang punya tangan, gunakan tangan kekuasaan, pengaruh, dan wibawanya untuk mencegah terpilihnya pemimpin sekuler. Yang punya lisan, gunakan semua kekuatan media untuk menjelaskan bahayanya memilih pemimpin sekuler.
Yang hanya bisa berdo'a, berdo'alah mudah-mudahan Allah membuka hati kaum Muslimin agar tidak memilih pemimpin sekuler, yang kelak hanya akan menjerumuskan manusia pada jalan kesesatan.
Dalam ajaran Islam, memilih pemimpin itu tidak hanya urusan dunia. Pertanggungjawabannya tidak hanya berhenti sampai di dunia ini saja. Pemimpin dalam pandangan Islam memiliki pengaruh besar, termasuk dalam urusan agama. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan agama rakyat itu tergantung pada agama rajanya. Jika raja atau para pemimpin itu mudah meninggalkan ajaran agama, maka pelan-pelan rakyat akan meninggalkan agamanya.
Jika pemimpinnya sekuler, rakyatnya akan sekuler. Lagi-lagi terhadap hal ini, Rasulullah sudah memprediksi jauh sebelumnya.
"Akan terlepas (kelak) ikatan (kekuatan) Islam, ikatan demi ikatan. Setiap kali terlepas satu ikatan maka orang-orang akan berpegangan pada yang lainnya. Yang pertama terlepas ialah hukum dan yang terakhir adalah shalat." (HR Ahmad dan Hakim)
Hukum yang dimaksud dalam hadits di atas tidak lain adalah syari'ah, bukan hukum yang lain. Sebab di luar hukum syari'at adalah hukum jahiliyah yang justru dari awal harus dilepaskan, bahkan haram hukumnya bagi ummat Islam berpegangan pada ikatan hukum tersebut.
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al-Maaidah: 50)
Jika dilihat dari sudut ini, maka para pemimpin sekulerlah yang pertamakali menentang habis-habisan masuknya syari'ah ke dalam sistem hukum negara. Melalui berbagai argumentasi dan alasan yang dicari-cari, mereka menolak dan menghilangkan hukum Islam, yang berarti melepas ikatan yang menjadi kekuatan Islam.
Saat ini mungkin hanya ikatan hukum syari'at yang dilepaskan, besok atau lusa, mereka akan melepas ikatan yang lain, sampai pada akhirnya semua ikatan Islam lepas sama sekali. Inilah bencana yang mereka ciptakan saat ini. Naudzu billahi min dzaalik. Sebaliknya, jika raja atau pucuk pimpinannya itu beriman, bertaqwa, dan berakhlaqul karimah, maka rakyatnya akan mengikutinya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar