Laman

9/07/2009

HIJAB & CADAR BAGI PEREMPUAN

Sun, 13 Aug 2006 21:10:47 -0700

http://www.eramuslim.com

Bolehkah Memakai Cadar?
Ass. wr. wb.

Ust. Ahmad yang semoga Allah meridhai ustaz. Isteri saya saat ini sudah
menggunakan hijab (penutup) dan sedang mempertimbangkan menggunakan cadar.
Alasan
isteri saya menggunakan cadar karena tidak ingin menjadi perhatian orang
(laki-laki) pada saat keluar rumah.

Pertanyaan saya:

1. Apa hukumnya dan dalilnya menggunakan cadar, boleh/tidak?
2. Jika boleh, apakah boleh hanya digunakan pada saat keluar rumah
saja/bepergian?
3. Apakah penggunaan cadar di Indonesia pada umumnya, dapat menggangu
kegiatan dakwah di lingkungan/sosial, mengingat saat ini masyarakat
memiliki persepsi negatif akan akhwat bercadar?

Sekian pertanyaan saya ust, jazakallah atas jawabannya.

Wassalaamu'alaikum,

Zulkifli

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Hukum Memakai Cadar

Memakai cadar atau niqab menurut para ulama hukumnya berbeda-beda. Ada
sebagina kalangan ulama yang justru mewajibkannya bagi wanita muslimah.
Ada juga yang hanya menyunnahkannya tanpa mewajibkannya, terutama dalam
kondisi banyak fitnah.

a. Pendapat yang Mewajibkan

Mereka yang mewajibkan berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian
dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis
non mahram. Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain:


Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu`min, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka`. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab: 59)

Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan
oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin
terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan
jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya,
kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu
Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada
kesepakatan di antara mereka tentang makna `jilbab` dan makna
`menjulurkan`.

Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat
dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di surat
An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya), Ibnu Abbas justru
berpendapat sebaliknya.

Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama
sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik
secara bahasa maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan
jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak
ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.

Dalil lainnya yang juga sering dikemukakan adalah:


Katakanlah kepada wanita yang beriman: `Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.` (QS. An-Nur: 31).

Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa
yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah,
karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud
dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.

Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi dari para shahabat
termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya
dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan `yang biasa nampak
darinya` bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat
ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.

Dalil lainnya lagi adalah:


Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang
tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini
isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan
itu adalah amat besar di sisi Allah.`(QS. Al-Ahzab: 53)

Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini untuk
menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa
wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski
khitab ayat ini kepada isteri Nabi, namun kewajibannya juga terkena
kepada semua wanita mukminah, karena para isteri Nabi itu adalah teladan
dan contoh yang harus diikuti.

Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga
kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para isteri
nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka (isteri nabi).

Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah
kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat
Rasulullah SAW dengan para isteri beliau. Kesucian hati ini kaitannya
dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para isteri nabi
nanti setelah beliau wafat.

Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi
dengan mengawini para janda isteri Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini
sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan bahwa ada
shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra. bila kelak Nabi wafat. Ini tentu
sangat menyakitkan perasaan nabi.

Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara
shahabat nabi dengan isteri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh
dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang
agung.

Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas merupakan
kekhusususan dalam bermuamalah dengan para isteri Nabi. Tidak ada
kaitannya dengan `al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah`.
Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan
isteri nabi. Dan mengqiyaskan antara para isteri nabi dengan seluruh
wanita muslimah adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al-fariq. Karena
para isteri nabi memang memiliki standart akhlaq yang khusus. Ini
ditegaskan dalam ayat Al-Quran.

`Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik,` (QS. Al-ahzab: 32)

b. Pendapat Kalangan yang Tidak Mewajibkan Cadar

Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah
bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta
mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat
salaf dari para shahabat Rasulullah SAW.

- Ijma` Shahabat

Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak
tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat
tentang masalah batas aurat wanita.

- Pendapat Para Fuqoha Bahwa Wajah Bukan Termasuk Aurat Wanita.

Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang
merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar).
Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat
adalah wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah
kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.

Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu As-Shaghir` atau sering disebut
kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan
bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan
mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu
bukan termasuk aurat.

Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya `al-Muhazzab`,
kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh
badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.

Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab
Al-Mughni 1: 1-6,`Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita
boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat

Daud yang mewakili kalangan Zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita
adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm
mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab
Al-Muhalla.

- Pendapat Para Mufassirin

Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas
aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan.
Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan
lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.

- Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan oleh Hadits Lainnya

Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak
berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat
Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern
sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut
sebagaimana tulisan beliau `hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih
Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.

- Perintah kepada Laki-laki untuk Menundukkan Pandangan.

Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan
pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah memang
tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.

`Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: `Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat. (QS. An-Nuur: 30)

Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan bahwa,

Janganlah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita) dengan
pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua
adalah ancaman/ dosa`. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).

Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah menundukkan
pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi.

2. Cadar dan Lingkungan Sosial

Mengingat bahwa masih merupakan khilaf di kalangan ulama, maka tentu
saja kita dihadapkan kepada dua pilihan.

Anggaplah kita memilih pendapat yang mewajibkan, maka tentu saja tidak
perlu lagi kita pertimbangkan masalah lingkungan sosial. Cadar wajib
dikenakan, tanpa harus memperhatikan urusan sosial.

Sebaliknya bila kita cenderung untuk menerima pendapat yang tidak
mewajibkan, maka tentu saja urusan lingukngan sosial perlu kita
perhatikan. Maksudnya, bila masyarakat masih belum bisa menerima
kehadiran cadar, rasanya tidak perlu untuk kita paksakan. Toh tidak ada
kewajibannya, sedangkan keresahan di tengah masyarakat tentu sangat
merugikan posisi seorang da'i di lingkungannya.

Orang-orang akan memandang asing masalah cadar ini, bahkan akan muncul
rasa antipati yang tidak produktif. Walhasil, kelancaran dakwah tentu
akan sangat terganggu hanya lantaran urusan cadar yang tidak wajib.

Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar